AKU AKAN BERJALAN WALAU SERIBU ARAL 'KAN MERINTANG

Jumat, 06 Agustus 2010

RAMADHAN

Permasalahan seputar puasa romadhon

Saudaraku seiman...
Seorang muslim tentu sangat senang dan gembira saat di beritahukan bahwa bulan yang penuh berkah itu sudah di ambang pintu, Bagaimana tidak? Karena dibulan suci ini ia akan meraup pahala yang berlimpah ruah serta ampunan dari yang Maha Pengampun.
Dalam menunaikan ibadah puasa, seorang muslim terkadang sering menghadapi masalah-masalah yang membuat ia dihantui dan dihinggapi rasa syak atau ragu akan sah atau tidaknya ibadah puasa yang ia tunaikan. Insya Allah pada tulisan ini penulis akan memaparkan beberapa permasalahan seputar ibadah puasa serta berusaha memberi solusinya secara ringkas. Semoga saudara-saudara bisa merasa lega dan nyaman dari permasalahan yang ada. Insya Allah.
Masalah Pertama: Seputar Syarat Sahnya Puasa.
1. Wajib bagi seorang muslim untuk berniat puasa dimalam hari sebelum fajar menyingsing, berdasarkan sabda Nabi:"Barangsiapa yang tak berniat di malam hari maka tiada puasa baginya".(HR.Ahmad dll, disohihkan oleh Al-baani). Dan syarat ini berlaku pada puasa wajib saja, adapun puasa sunnah tidak disyaratkan berniat di malam hari artinya boleh berniat walaupun setelah fajar menyingsing sebagaimana yang dinukil dari perbuatan Nabi.
Barangsiapa yang mengetahui bahwa besok adalah bulan romadhon sedang ia ingin berpuasa, berarti ia telah berniat melakukan puasa.
Dan barangsiapa yang sedang menunaikan puasa wajib (seperti puasa qodho’, nadzar atau kaffaroh) tidak boleh baginya untuk membatalkannya kecuali ada uzur syar’i (seperti sakit atau bepergian jauh).
Barangsiapa berniat untuk berbuka maka batallah puasanya, berdasarkan sabda Nabi:“Hanyasanya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya”. Dan sebagian ulama berpendapat bahwa tidak batal puasanya kalau hanya sekedar niat, Akan tetapi untuk lebih selamat sebaiknya mengqodhonya.
2. Diwajibkan puasa romadhon bagi setiap muslim, berakal, dan mampu untuk berpuasa, dan puasa tidak wajib bagi orang kafir dan tidak sah darinya, apabila dia masuk Islam pada pertengahan bulan ramadhan wajib baginya berpuasa di sisa bulan romadhon dan tidak ada qodho’ baginya pada saat dia kafir.
3. Tidak wajib puasa romadhon bagi anak kecil (belum baligh), namun sah puasa bagi anak kecil yang mumayyiz (bisa membedakan yang baik dari yang buruk) akan tetapi puasanya dianggab sunnah.
4. Tidak sah puasa bagi perempuan yang sedang haid dan nifas (darah yang keluar setelah melahirkan).
Saudaraku tercinta…semoga anda tetap setia mengikuti tulisan ini...
Masalah Kedua: Seputar Pembatal Puasa.
Semua pembatal puasa (kecuali haid dan nifas), tidak akan membatalkan puasa kecuali dengan tiga syarat:
- Mengetahui bahwa hal tersebut bisa membatalkan puasa, apabila seseorang itu jahil (tidak tahu) maka puasanya tidak batal atau dianggb sah.
- Dalam keadaan ingat (tidak lupa) bahwa dia sedang berpuasa, apabila ia makan atau minum sedang ia lupa maka puasanya sah, berdasarkan sabda Nabi :“Barangsiapa yang lupa bahwa dia sedang berpuasa kemudian ia makan atau minum, hendaklah ia menyempurnakan puasanya…(HR.Bukhari dan Muslim). Tapi apabila ia ingat maka wajib baginya mengeluarkan apa yang masih di mulutnya, dan wajib bagi yang melihatnya agar mengingatkannya.
- Tidak terpaksa, jika seorang istri di paksa oleh suaminya untuk berhubungan badan (di siang hari) sedang sang isteri tak kuasa menolaknya, maka puasa sang isteri tetap sah, begitu juga apabila menelan air saat berkumur-kumur tanpa disengaja tetap sah puasanya.

Adapun pembatal puasa sebagai berikut:
• Makan dan minum dengan sengaja.
• Apa saja yang mengganti kedudukan makanan atau minuman, seperti memakai tetesan hidung yang sampai ketenggorokan, melakukan suntikan yang mengandung gizi dan lain-lain yang semakna dengan hal itu.
• Berhubungan badan di siang hari, dan bagi siapa yang bersetubuh di siang hari wajib baginya membayar kaffarot (denda), adapun kaffarotnya secara berurutan sebagai berikut:
1. Memerdekakan budak yang mu’min, jika tidak mampu maka wajib baginya.
2. Puasa dua bulan berturut-turut tidak boleh diselangi berbuka kecuali ada uzur syar’i seperti haid, nifas, sakit, bepergian jauh, hari raya, hari tasyriq (11,12,13 dari bulan Dzulhijjah), kalau dia berbuka tanpa uzur syar’i maka di haruskan baginya mengulangi puasanya dari awal.
3. Apabila dia tidak sanggup berpuasa, maka wajib baginya memberi makan enam puluh orang miskin.
a) Seorang isteri yang di paksa suaminya untuk bersetubuh tidak ada baginya kaffaroh, karena bukan berdasarkan keinginan dari sang istri akan tetapi karena ia terpaksa.
b) Barang siapa yang mengetahui bahwa bersetubuh di siang hari itu haram, akan tetapi dia tidak tahu akan wajibnya kaffaroh tetap wajib baginya kaffaroh.
c) Barang siapa yang ingin bersetubuh dengan istrinya tapi di awali dengan berbuka dengan makan atau minum maka hal ini lebih buruk lagi karena dia telah merendahkan kehormatan bulan romadhon dua kali.
d) Apabila pasutri (pasangan suami istri) sedang besetubuh, tiba-tiba fajarpun menyingsing maka wajib bagi mereka segera menyelesaikannya serta sah puasanya, sekalipun keluar mani setelah itu, adapun jika diteruskan sedang fajar sudah terbit batallah puasa keduanya, dan wajib bagi keduanya bertaubat serta membayar kaffaroh seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
e) Jika seseorang berpuasa qodho’ (qodho’ puasa romadhon) kemudian terjadi persetubuhan pada hari itu tidak ada baginya kaffaroh, karena kaffaroh itu khusus di bulan romadhon.
f) Apabila persetubuhan berulang kali, hal ini tidak keluar dari tiga keadaan: pertama: apabila terulang di satu hari sedang dia belum membayar kaffaroh jima’ yang pertama maka cukup baginya hanya membayar kaffaroh satu kali saja, kedua: adapun jika dia telah mengeluarkan kaffaroh jimak pertama kemudian jimak kembali maka diharuskan baginya mengeluarkan kaffaroh yang kedua, sekalipun terjadi jimak itu di satu hari. Ketiga: apabila terjadi di setiap hari maka wajib baginya untuk setiap hari kaffaroh karena setiap hari itu ibadah yang terpisah.
• Mengeluarkan mani dengan sengaja baik dengan onani (mengeluarkan mani dengan tangan) atau dengan bercumbu, karena ini menyelisihi sabda Nabi:“….Dia meninggalkan syahwat, makan dan minumya karena-Ku”.(HR.Bukhari).
a) Mencium atau menyentuh tanpa mengeluarkan mani tidak membatalkan puasa, tetapi kalau dia khawatir akan dirinya dari keluar mani atau mendorong dia untuk berjima’ maka dilarang baginya melakukan hal tersebut.
b) Adapun keluar mani di sebabakan ihtilam (mimpi basah) tidak membatalkan puasa karena itu bukan dari pilihan dan keinginan darinya, begitu juga (tidak membatalkan puasa) jika keluar mani dikarenakan hanya sekedar berfikir.
c) Barangsiapa mengeluarkan mani di siang hari dengan sesuatu yang mungkin dihindari seperti menyentuh, mencium, melihat berulang kali wajib baginya bertaubat serta menyempurnakan puasanya kemudian diharuskan baginya mengqodho’ puasa hari itu, sementara jika dia sedang melakukan onani kemudian berhenti sebelum keluar mani hendaklah baginya bertaubat tanpa mengqodho’ puasa disebabkan tidak keluarnya mani.
d) Jika seseorang keluar madzi (air yang keluar saat bercumbu, berciuman, berfikir atau menghayal tentang jimak), menurut pendapat yang paling benar adalah tidak membatalkan puasa.
• Muntah dengan sengaja baik dengan perbuatan tangan, mencium atau melihat sesuatu yang menyebabkan muntah, adapun muntah tanpa di sengaja tidak membatalkan puasa berdasarkan sabda Nabi: ”Barang siapa yang muntah tanpa disengaja tidak ada baginya qodho’ dan barang siapa yang menyengaja maka hendaklah baginya mengqodho (puasa)”. (HR. Tirmidzi).
• Keluar darah haid atau nifas (darah yang keluar selepas melahirkan), setiap wanita yang mendapati darah haid atau nifas di siang hari ataupun suci dari haid setelah terbit fajar maka batalah puasanya, berdasarkan Sabda Nabi : “Bukankah (perempuan) apabila sedang haid tidak sholat dan puasa? (yaitu tidak sah sholat dan puasa mereka)”.(HR.Bukhari).
a) Barangsiapa berbuka sedang ia lupa maka sah puasanya dan tak ada qodho’ baginya, seperti orang yang mengira bahwa fajar belum terbit atau matahari sudah terbenam, berdasarkan sabda Nabi : “Barangsiapa makan atau minum sedang dia lupa (sedang puasa) maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena Allahlah yang memberinya makan dan minum”.(HR.Bukhari). begitu juga hadist Asma’ binti Abi Bakar ra ia bertutur: “Kami berbuka di zaman Nabi  pada hari yang mendung (mereka mengira matahari sudah terbenam) kemudian matahari muncul lagi”.(HR.Bukhari), tidak ada riwayat yang benar yang bisa menjadi pegangan bahwa Nabi  memerintahkan mereka untuk mengqodho’ puasa hari itu, tapi jika didapati makanan atau minuman di mulut harus segera memuntahkannya saat itu juga.
b) Apabila menelan sesuatu yang terselip di gigi tanpa sengaja, atau sedikit dari sisa makanan yang susah untuk dikeluarkan dari mulut karena menyelip di gigi maka itu tidak membatalkan puasa, tapi jika sesuatu itu banyak dan mungkin untuk dikeluarkan, jika dia mengeluarkannya maka sah puasanya namun apabila ia menelannya maka batalah puasanya.
c) Apabila gusinya berdarah atau luka, maka tidak boleh baginya menelan darah tersebut dengan sengaja, tapi jika tertelan tanpa disengaja maka itu tidak mengapa.
d) Ingus atau sesuatu yang berasal dari perut disebabkan batuk atau pilek, jika menelannya sebelum sampai kemulut maka itu tidak apa-apa dan sah puasanya, namun jika dia menelannya setelah sampai di mulut sedang dia tahu bahwa hal itu membatalkan puasa, dan dalam keadaan ingat, serta tidak terpaksa maka puasanya batal saat itu, kalau tidak, maka sahlah puasanya.
e) Adapun memakai pasta gigi di siang hari tidak membatalkan puasa, meskipun menggunakannya di malam hari lebih baik dan utama.
f) Barang siapa yang jahil akan wajibnya puasa romadhon atau jahil akan haromnya makan atau bersetubuh di bulan romadhon, menurut pendapat mayoritas para ulama dia di maafkan dari hal tersebut dengan syarat; apabila baru masuk islam atau seorang muslim yang tinggal di daerah peperangan atau tinggal di antara orang kafir atau tinggal di daerah pedalaman yang jauh dari sumber ilmu dan tak terjangkau, akan tapi jika dia tinggal di antara kaum muslimin serta memungkinkan untuk bertanya kepada para ulama maka dia tidak dimaafkan dan berdosa karena dia tidak mau belajar dan bertanya.
Masalah Ketiga: Seputar Orang Yang Tidak Wajib Berpuasa,
• Orang kafir, tidak wajib baginya berpuasa, dan apabila dia masuk Islam di tengah hari wajib baginya menahan sisa harinya dan tidak ada qodho’ baginya baik hari itu atau hari-hari sebelum dia Islam.
• Anak kecil (belum baligh), tidak wajib baginya untuk berpuasa, akan tetapi hendaklah bagi orang tuanya memotivasi untuk berpuasa agar terbiasa, sebagaimana yang dilakukan para sahabat Nabi . Sebagian para ulama berpandangan bahwa anak kecil yang berumur sembilan tahun dianjurkan untuk berpuasa jika dia mampu, dan sebagian para ulama berpendapat agar dipukul (dengan tujuan mendidik bukan melukai) apabila berumur sepuluh tahun sebagaimana halnya sholat, sedangkan pahala puasa itu buat anak kecil tersebut begitu juga juga orang tuanya yang telah mendidiknya.
Apabila seseorang baik laki-laki atau wanita telah mencapai usia baligh di siang hari di bulan romadhon wajib baginya untuk berpuasa dan tidak wajib mengqodho’ hari tersebut jika sebelumnya dalam keadaan tidak berpuasa.
• Orang gila, tidak diwajibkan puasa baginya, tetapi jika terkadang gila dan terkadang waras, maka wajib baginya berpuasa di saat waras saja, dan apabila dia waras sedang dia dalam keadaan berbuka wajib baginya menahan karena dia termasuk orang yang wajib berpuasa saat itu, dan tidak ada qodho’ baginya.
a) Dan apabila dia gila di siang hari sedangkan pada malamnya ia niat berpuasa, maka sah puasanya sebagaimana orang yang pingsan karena sakit atau hal lain, karena saat dia berniat itu dalam keadaan sehat atau waras, sama halnya orang yang kesurupan.
b) Orang tua renta, orang sudah lanjut usia yang tidak sanggup membedakan sesuatu dari yang lain tidak wajib baginya puasa bahkan memberi makanpun tidak, apabila terkadang bisa membedakan dan terkadang tidak, wajib baginya berpuasa tatkala dapat membedakan saja.
c) Orang yang lemah, orang yang tak sanggup berpuasa secara terus menerus seperti orang tua renta tapi masih memiliki akal yang bisa membedakan antara ini dan itu, begitu juga orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya tidak wajib bagi mereka untuk berpuasa akan tetapi baginya hanya memberi makan setiap hari untuk satu orang miskin, dalam pemberian makan ada dua pilihan:
1. Membuat hidangan kemudian mengundang orang miskin sebanyak hari yang ia tinggalkan.
2. Membagikan kepada setiap orang miskin sebanyak kurang lebih 1,5 kg bahan makanan pokok (seperti beras, gandum dll). Apabila orang tersebut tidak memiliki apa-apa karena kefakirannya maka menurut sebagian ulama tetap berada pada tanggungannya namun sebagian yang lain berpendapat tidak apa-apa karena dia tidak mampu.
Musafir (orang yang bepergian jauh), dibolehkan bagi musafir berbuka atau berpuasa secara mutlak, berdasarkan hadist Ibnu Abbas ra beliau berkata: “Nabi  melakukan safar pada bulan romadhon sesampai di ‘asafan (nama sebuah tempat di antara makkah dan madinah) beliau meminta secangkir air kemudian diminumnya pada siang hari agar dilihat oleh manusia bahwa beliau telah berbuka sampai tiba di mekkah, dan Thowus (salah satu murid ibnu Abbas) berkata: Ibnu Abbas bertutur: Nabi  berpuasa dan berbuka di saat safar, barang siapa yang hendak berpuasa silahkan dan yang ingin berbukapun tidak apa-apa).(HR.Bukhari). Akan tetapi harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya:
a) Hendaknya safar menempuh jarak sekitar lebih kurang 80 km menurut pendapat sebagian ulama.
b) Harus melintasi daerah tempat ia tinggal.Hendaknya safar bukan untuk maksiat menurut pendapat mayoritas ulama.
c) Tidak menjadikan safar sebagai jalan atau siasat agar bisa berbuka.
Dibolehkan bagi musafir untuk memilih antara puasa atau berbuka baik safarnya itu lama ataupun sebentar, baik safarnya kadang-kadang ataupun terus menerus seperti sopir bus atau pilot, akan tetapi yang terbaik bagi musafir adalah melakukan hal yang mudah dan gampang baginya baik berpuasa atau berbuka.
Apabila musafir merasa keberatan atau capek untuk puasa maka hendaklah ia berbuka dan makruh baginya berpuasa, sebagaimana sabda Nabi  tatkala melihat manusia merasa capek karena puasa “ Bukanlah suatu kebaikan berpuasa dalam keadaan safar”.(HR.Ibnu Hibban dll).
Barangsiapa yang berniat melakukan safar, tidak boleh baginya untuk berniat berbuka sampai ia melakukan safar, karena dikhawatirkan ada hal yang menghalangi dia untuk berangkat serta tidak berbuka sampai dia keluar dari daerahnya.
Apabila seorang musafir datang dari safarnya dalam keadaan berbuka, apakah baginya menahan sisa hari itu atau tidak? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, tapi yang lebih selamat hendaklah dia tidak makan di depan orang karena dikahwatirkan timbul buruk sangka dari yang melihatnya, karena sebab bolehnya dia berbuka tersembunyi atau tidak nampak.
Barangsiapa yang sampai di satu negeri terus dia berniat untuk bermukim di tersebut lebih dari empat hari, wajib baginya berpuasa menurut pendapat mayoritas para ulama.
Apabila seseorang mulai berpuasa di negerinya kemudian safar ke salah satu negeri dimana waktu berpuasa berbeda dengan waktu di negerinya, maka hukumnya seperti hukum orang yang tinggal di tempat tersebut baik waktu berpuasa atau berbuka sekalipun lebih dari tiga puluh hari dalam hitungan dia, berdasarkan sabda Nabi , “Berpuasa pada hari mereka berpuasa dan berbuka pada hari mereka berbuka”. dan apabila puasanya kurang dari dua puluh Sembilan hari maka hendaklah baginya menyempurnakan sampai dua puluh sembilan hari setelah hari raya, karena bulan hijriah tidak kurang dari dua puluh Sembilan hari. (fatwa syekh Ibnu Bazz).
Masalah Keempat: Seputar Puasa Orang Sakit
• Orang sakit yang diharapkan kesembuhannya ada tiga keadaan yaitu:
a. Tidak memberatkan dan membahayakanya saat berpuasa, maka wajib baginya berpuasa karena tidak ada sebab yang membolehkan dia berbuka.
b. Memberatkan tapi tidak membahayakannya saat berpuasa, maka boleh baginya berpuasa berdasarkan firman Allah SWT. “Barang siapa yang sakit atau safar (boleh baginya berbuka) kemudian hendaklah dia mengqodho’nya di hari yang lain”.(QS.Al-Baqorah:185). bahkan makruh hukumnya kalau memberatkannya karena itu di anggap menyiksa diri.
c. Membahayakannya jika berpuasa, pada hal seperti ini wajib baginya untuk berbuka dan haram baginya berpuasa, berdasarkan firman Allah SWT. “Janganlah kalian membunuh dirimu sendiri sesungguhnya Allah maha penyayang terhadap kalian”.(QS.An-Nisa’:29).
Orang yang sakit dan telah berbuka di bulan romadhon dan dia sedang menunggu kesembuhan agar mengqodho’nya; ternyata sakitnya tidak diharapkan kesembuhannya maka yang wajib baginya adalah memberi makan untuk setiap hari satu orang miskin. dan apabila sembuh pada tengah hari hukumnya seperti hukum musafir yang datang pada saat itu, wajib baginya untuk mengqodho’ hari tersebut.
Apabila seorang dokter yang terpercaya menyatakan bahwa kalau dia berpuasa akan menyebabkan dia sakit atau memperlambat kesembuhannya, maka boleh baginya berbuka untuk menjaga kesehatannya kemudian mengqodho’nya jika kekhawatirannya hilang.
Barangsiapa yang menunggu kesembuhan dari sakit (yang diharapkan kesembuhannya) kemudian meninggal sebelum sempat mengqodho’nya, tidak wajib sesuatupun baginya dan juga para walinya.
Jika seseorang sakit menahun kemudian dia berbuka lalu memberi makan kepada orang miskin, kemudian bersamaan dengan perkembangan zaman dan alat-alat kedokteran diketahui bahwa sakitnya bisa disembuhkan dengan mengkonsumsi obat tertentu, kemudian diapun mengkonsumsikannya ternyata sembuh dengan izin Allah, maka tak ada masalah berkenaan dengan apa yang dia lakukan di masa lalu.
Masalah Kelima: Seputar Puasa Orang Pingsan.
a. Apabila puasa bisa menyebababkan ia pingsan maka boleh baginya berbuka dan wajib mengqodho’nya jika hal tersebut sudah hilang.
b. Apabila pingsan di siang hari kemudian sadar sebelum matahari terbenam atau sesudahnya sah puasanya selama dia di pagi harinya dalam keadaan berpuasa. Apabila pingsan dari terbit fajar sampai magrib (terbenam matahari) menurut pendapat mayoritas para ulama tidak sah puasanya.
c. Adapun berkenaan dengan qodho’ orang yang pingsan, wajib baginya mengqodho’ puasa (jika sudah sadar) menurut pendapat mayoritas para ulama secara mutlak, sedang sebagian ulama berpandangan bahwa kalau pingsan lebih dari tiga hari maka tidak ada qodho’ baginya karena halnya sama dengan orang gila.
d. Dan barangsiapa meninggal dunia di pertengahan bulan romadhon, tidak ada sesuatu atasnya serta para walinya berkenaan dengan sisa bulan tersebut.
Masalah Keenam: Seputar Puasa Wanita Yang Haid.
Diharamkan bagi perempuan yang sedang haid untuk berpuasa, meskipun dia melakukannya tetap tidak sah puasanya bahkan berdosa, apabila dia melihat darah haid sekalipun menjelang terbenamnya matahari batallah puasanya serta wajib baginya mengqodho’nya, jika puasa tersebut puasa wajib, dan apabila ia suci dari haid menjelang terbitnya fajar, maka wajib baginya berpuasa.
Boleh hukumnya bagi yang telah suci dari haid untuk menunda atau mengakhirkan mandinya sampai setelah terbit fajar sebagaimana halnya orang yang berjunub, berdasarkan perkataan A’isyah ra: “Nabi pernah kesiangan sedang dia dalam keadaan junub karena jima’ bukan karena mimpi, kemudian beliau berpuasa”.(HR.Bukhari dan Muslim).
Seorang wanita yang merasa berpindahnya darah haid akan tetapi darah tersebut belum keluar kecuali setelah terbenam matahari maka sah lah puasanya.
Wanita yang tahu bahwa kebiasaannya (haid) akan datang di esok hari, hendaklah bagi dia meneruskan niatnya untuk berpuasa dan tidak berbuka sampai dia melihat darah haid. Yang terbaik bagi perempuan adalah tidak mengkonsumsi sesuatu (tentunya yang tidak membahayakan) yang dapat menghalangi datangnya haid sebagaimana halnya isteri-isteri Nabi yang mulia dan para wanita salafus solih, namun apabila ia mengkonsumsikannya lalu dapat menghalangi keluarnya darah haid maka tidak apa-apa dan sah puasanya.
Apabila ibu hamil keguguran sedang janinnya sudah mulai berbentuk manusia maka ia adalah nifas (darah yang keluar disebabkan melahirkan) maka secara otomatis tidak berpuasa, kalau tidak (seperti yang telah disebutkan) berarti itu darah istihadhoh (darah penyakit) dan wajib baginya berpuasa jika mampu.
Hukum wanita yang telah melahirkan sama dengan hukum wanita yang haid, apabila sang ibu bayi suci sebelum empat puluh hari wajib baginya berpuasa dan mandi untuk sholat, tapi jika darah keluar lagi setelah itu sementara masih kurang dari empat puluh hari maka itu masih dianggap darah nifas dan baginya agar menghentikan puasanya, namun jika melebihi empat puluh hari maka hendaklah ia niat untuk berpuasa sedang darah yang masih keluar (setelah 40 hari) dianggap darah istihadhoh kecuali apabila bertepatan dengan hari haidnya maka dia dianggab darah haid.
Masalah Ketujuh: Seputar Puasa Ibu Hamil dan Menyusui.

Apabila ibu hamil dan yang menyusui khawatir akan dirinya saja, atau khawatir akan anaknya saja atau dirinya dan anaknya, dibolehkan bagi keduanya berbuka dan mengqodho’ sebanyak hari dimana keduanya berbuka, berdasarkan sabda Nabi:“Sesungguhnya Allah meringankan bagi musafir puasa dan setengah sholat (yang empat rokaa’t) dan bagi ibu hamil dan yang menyusui puasa”. (HR.At-tirmidzi).
Barangsiapa yang butuh untuk berbuka guna menjauhkan atau menghindarkan bahaya dari orang lain seperti menyelamatkan jiwa yang ma’sum (terpelihara) dari kebakaran, tenggelam, reruntuhan atau semisalnya dibolehkan baginya berbuka, namun apabila tidak bisa dilakukan hal itu kecuali dengan berbuka maka wajib ketika itu berbuka dan mengqodho’ puasa hari itu, begitu juga halnya para mujahidin di jalan Allah apabila membutuhkan berbuka maka baginya berbuka dan baginya qodho’ atas puasa yang ditinggalkannya.
Setiap orang yang dibolehkan untuk berbuka, tidaklah mengapa kalau berbuka dengan terang-terangan selama sebabnya nampak seperti sakit, tetapi jika sebabnya tersembunyi seperti haid hendaknya tidak berbuka secara terang-terangan karena dikhawatirkan ada yang berburuk sangka dan menjadi fitnah bagi orang yang tidak tahu lalu mereka menganggap bahwa boleh berbuka tanpa ‘uzur atau halangan.
Masalah Kedelapan: Seputar Qodho’ Puasa.
Siapa saja yang memiliki tanggungan puasa agar mengqodho’nya sebanyak hari ia berbuka. berdasarkan firman Allah SWT:“…Maka puasalah (sejumlah hari yang ditinggalkan) pada hari-hari yang lain”.(QS.Al-baqorah:185), adapun menyegerakan qodho’ itu lebih baik dan selamat ketika halangannya sudah hilang agar terlepas dari tanggungannya.
Tidak boleh hukumnya mengakhirkan qodho’ sampai romadhon yang akan datang tanpa ada u’zur atau halangan syar’i. Apabila u’dzur syar’i itu terus-menerus sampai ia meninggal dunia sebelum ada kesempatan untuk mengqodho’nya maka tak ada tanggungan apapun baginya.
Dan apabila ada kesempatan untuk mengqodho’nya tapi dia menunda-nunda atau meremehkan sampai dia meninggal dunia maka bagi para walinya agar berpuasa untuknya sejumlah hari dia berbuka (tidak puasa).
Dan dibolehkan bagi sekelompok orang untuk berpuasa qodho’ untuknya sejumlah hari tersebut pada satu hari saja , jika dia tak memiliki wali atau tak mau berpuasa untuknya maka bagi wali memberi makan orang miskin sejumlah hari yang tertinggal untuk setiap hari satu orang miskin dari warisannya. Sedang apabila tidak memiliki warisan gugurlah hal itu, karena Allah berfirman: “Allah tidak membebani seorangpun kecuali sesuai dengan kemampuannya”.(QS.Al-baqorah:286).
Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa nadzar, di anjurkan kepada walinya untuk berpuasa untuknya, sebagaimana yang di sebutkan di sohihain (Bukhari dan Muslim) “Bahwasanya seorang wanita mendatangi Nabi seraya berkata: Ibuku telah meninggal dunia sedang ia memiliki tanggungan puasa nadzar, apakah saya berpuasa untuknya? Beliau bersabda: “ Ya ”.
Masalah Kesembilan:Hhukum Berbuka Puasa Dengan Sengaja Tanpa Ada ‘uzur Syar’i.
Berbuka puasa di bulan romadhon dengan sengaja tanpa ada u’zur syar’i merupakan salah satu dosa besar, sebagaimana yang disebutkan Imam Adzahabi dalam kitab Al-Kabair (dosa-dosa besar): “Dosa besar yang kesepuluh adalah berbuka di bulan romadhan tanpa u’zur syar’i”. perkataan tersebut dikuatkan juga oleh Ibnu Al-qoyyim dalam kitabnya I’lam Almuwaqqii’n.
Di kitab tersebut imam Adzahabi juga bertutur: “kaum mu’minin telah menetapkan bahwa berbuka puasa di bulan romadhon tanpa sakit, atau sebab lain (yang syar’i) adalah lebih buruk dari pezina, peminum minuman keras, bahkan di ragukan keislamannya...”. juga syaikh Abu Al-Abbas berkata: “Apabila seseorang berbuka di bulan romadhon sedang dia berkeyakinan bahwa hal itu halal dan tahu bahwa itu sesuatu yang harom wajib di bunuh, dan jika dia fasik (tidak meyakini bahwa berbuka itu halal) maka dihukum disebabkan berbuka di bulan romadhon”.
Apakah wajib mengqodho’ bagi yang berbuka dengan sengaja (tanpa ‘uzur)? Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada qodho’ baginya akan tetapi hendaklah ia bertaubat, menjaga ajaran-ajaran Islam, memperbanyak amal soleh, karena maksiat dia lebih besar tidak bisa diganti dengan qodho’ dan Allah SWT hanya menerima puasa di luar bulan romadhon bagi yang punya halangan atau uzur seperti musafir, orang sakit dan lain-lain, adapun yang bersengaja berbuka tanpa uzur tidaklah diterima darinya. Dan Abu Al-Abbas berkata: “Tidak ada qodho’ bagi yang sengaja berbuka tanpa uzur begitu juga sholat dan tidak sah (kalau dia puasa atau sholat) darinya”. Pendapat ini di pelopori oleh Abu Bakar Assiddiq, Umar bin Khottob, Ali bin Abi Tholib, Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairoh Rodhiallahu’anhum.
Dan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa wajib baginya mengqodho’ puasa tersebut, karena Allah SWT telah mewajibkan qodho’ bagi orang sakit dan musafir padahal mereka orang-orang yang memiliki uzur, jadi orang yang tidak memiliki uzur itu lebih berhak dan wajib untuk mengqodho’nya. Pendapat ini di pelopori oleh Sa’id bin Musayyab,imam Assya’bi, Ibnu Jubair, Ibrohim An nakha’i, Qotadah dan Hammad bin Abi Sulaiman.
Apa hukum mencicipi makanan? Boleh hukumnya mencicipi makanan selama tidak menelan sedikitpun dari makanan tersebut. Ibnu Abbas berkata: “ Tidak apa-apa mencicipi makanan atau sesuatu yang lain ”.Syaikh Ibnu Jibrin berfatwa bahwa “tidak apa-apa mencicipi makanan dengan menaruhnya di ujung lidah untuk mengetahui rasanya akan tetapi jangan menelannya sedikitpun”.
Seorang wanita yang sudah baligh tapi merasa malu (kalau ketahuan) kemudian dia tak berpuasa, maka hendaklah ia bertaubat kepada Allah SWT serta mengqodho’ sebanyak hari yang dia tinggalkan serta memberi makan untuk setiap hari satu orang miskin, jika belum di qodho’ sampai datang bulan romdhon selanjutnya. Begitu juga perempuan yang datang haid tapi ia malu lalu berpuasa dalam keadaan haid.
Masalah Kesepuluh: Seputar Waktu Berbuka.
Apabila matahari telah tenggelam atau terbenam secara keseluruhan tibalah waktu berbuka puasa, serta tidak ada masalah dengan adanya sisa-sisa warna merah di ufuk, berdasarkan firman Allah SWT:“...kemudian sempurnakanlah (puasa) sampai (masuk waktu) malam.(QS.Al-Baqorah:178), juga sabda Nabi:“Apabila malam menjelang dari arah sini dan dan siang menghilang dari arah sini dan matahari sudah terbenam, sungguh telah tibalah waktu berbuka”.(HR.Bukhari).
Hendaklah muadzin mengumandangkan adzan tatkala matahari sudah benar-benar terbenam karena itu merupakan sunnah Nabi.
Hukum berbuka ketika mendengar azan di televisi atau radio.
Apabila muadzin mengumandangkan adzan tatkala ia melihat terbenamnya matahari maka boleh bagi kita untuk mengikuti adzannya untuk waktu berbuka, tapi pada kebiasaanya muadzin di radio atau televisi lebih dekat dengan kebenaran dan mengikuti radio atau televisi lebih selamat. insya Allah.
Masalah Kesebelas: Seputar Keraguan Akan Terbenamnya Matahari.
• Berbuka sebelum magrib (sebelum terbenam matahari) ada beberapa keadaan:
a) Yakin atau ghalabatutdzon (dugaan yang kuat) bahwa matahari sudah terbenam maka sah puasanya.
b) Yakin bahwa matahari belum terbenam maka batallah puasanya.
c) Apabila ia berbuka karena mengira matahari sudah terbenam ternyata belum, menurut pendapat mayoritas para ulama baginya qodho’, karena asalnya masih siang sedang yakin tak bisa dikalahkan dengan keraguan, sedang menurut Abu Al-Abbas tidak ada baginya qodho’.
d) Sedangkan apabila ia makan, sedang ia yakin bahwa matahari sudah terbenam kemudian terlihat lagi maka sah puasanya.
Masalah kedua belas: seputar sunnah-sunnah dalam berbuka.
a) Menyegerakan berbuka saat matahari sudah terbenam, berdasarkan sabda Nabi,“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka”.(HR.Bukhari dan Muslim). Apabila tidak mendapatkan sesuatu untuk berbuka hendaklah meniatkan dengan hatinya untuk berbuka.
b) Memulai berbuka dengan kurma basah (rutob), kalau tidak ada dengan kurma kering, kalau tidak ada juga dengan air putih, sebagaimana yang telah dinukil dari perbuatan Nabi .
c) Berdo’a ketika hendak berbuka, berdasarkan perkataan Ibnu Umar ra “Bahwasanya Nabi  apabila hendak berbuka berkata: ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله)). (HR.Abu Daud, di hasankan oleh Al-Bani). Adapun do’a yang tersebar di masyarakat (اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت ), riwayat ini lemah tidak bisa dijadikan pegangan dalam berdalil.
d) Hendaklah bagi seorang muslim memperbanyak do’a di saat berpuasa karena do’a orang berpuasa tidak ditolak atau mustajab, sebagaimana sabda Nabi, ”Ada tiga hal yang tidak ditolak do’anya: As-soim (orang yang puasa) sampai dia berbuka….”. (disebutkan oleh Al-Bani di silsilah Assohihah).
e) Hendaklah tidak berlama-lama dalam menyantap hidangan berbuka agar tidak tertinggal sholat jama’ah di masjid bagi laki-laki begitu juga bagi para wanita setelah berbuka hendaknya bersegera untuk menunaikan sholat magrib.
f) Hendaklak tidak berlebih-lebihan dalam menghidangkan makanan atau minuman serta tidak berlebihan dalam mengkonsumsinya karena Nabi  mencela hal itu “Tidaklah seorang manusia memenuhi satu wadah lebih buruk dari perutnya”. (HR.At-Timizdi, dan dia berkata: hadist ini hasan sohih).
g) Hendaklah bersyukur atas rahmat, nikmat dan taufiq-Nya, dimana Allah telah memudahkan kita untuk menyempurnakan puasa pada hari ini.
h) Hendaklah memuji Allah setelah makan dan minum karena itu merupakan salah satu sebab untuk mendapat keridhoan Allah SWT sebagaimana yang telah dikabarkan Nabi .”Sesungguhnya Allah meridhoi seorang hamba, setelah mendapatkan makan dan minum lalu ia memuji-Ku”. (HR,Muslim).
Masalah Ketiga belas: Seputar Makan Sahur.
 Keutamaan makan sahur:
1. Sesungguhnya Allah dan para malaikat bersolawat (berdo’a) kepada orang yang makan sahur, Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat besalawat kepada orang-orang yang makan sahur”.(HR.Ibnu Hibban, dihasankan oleh Al-Bani).
2. Makan sahur adalah bentuk perbedaan seorang muslim dengan Ahli kitab (yahudi dan nasrani), Nabi  bersabda: “perbedaan puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur”.(HR.Muslim), jadi, yang meninggalkan sahur berarti telah menyerupai ahli kitab.
3. Makan sahur adalah barokah, berdasarkan sabda Nabi: “makan sahurlah kalian, sesungguhnya pada sahur itu ada keberkahan”.(HR.Bukhari dan muslim).
 Waktu makan sahur: waktu sahur dimulai dari tengah malam sampai menjelang terbit fajar, akan tetapi disunnahkan mengakhirkannya sampai akhir waktunya selama tidak dikhawatirkan terbit fajar yang kedua (fajar sodiq), dulu para sahabat adalah orang yang paling cepat berbuka dan paling akhir disaat makan sahur.
Mendahulukan makan sahur merupakan salah satu kesalahan yang sering kali dilakukan sebagian kaum muslimin, selayaknya bagi setiap muslim agar mengakhirkan makan sahurnya agar memperoleh pahala yang berlipat ganda.
Berapa selang waktu antara adzan dan sahur? Telah diriwayat dari zaid bin tsabit ra beliau bertutur: “Kami makan sahur bersama Rosulullah  kemudian beliau berangkat sholat, Anas berkata kepada Zaid: berapa selang waktu antara adzan dan sahur? Zaid berkata: sekitar lima puluh ayat”. (HR.Bukhari).
Cukuplah sahur itu walaupun sedikit dari makanan atau seteguk air, sabagaimana sabda Nabi : “Bersahurlah walaupun seteguk air”.(HR.Ahmad dan Ibnu Hibban serta disohihkan oleh Al-Bani). Lebih baik lagi jika sahurnya di dampingi kurma (jikalau ada), sesuai dengan sabda Nabi  “Sebaik-baik sahur mukmin adalah kurma”.(HR.Abu Daud dll).
Apabila seseorang bangun sedang dia dalam keadaan junub atau suci dari haid sebelum terbit fajar, hendaklah dia memulai makan sahur lalu berpuasa dan mengakhirkan mandi setelah terbit fajar.
Kesalahan yang banyak dilakukan oleh sebagian kaum muslimin adalah makan atau minum dengan sengaja di saat adzan sedang dikumandangkan karena mereka mengira bahwa boleh makan dan minum sampai adzan selesai, dengan demikian ia telah membatalkan puasanya terlebih kalau muadzzin sangat jeli dalam menentukan waktu adzan, Allah berfirman: “Makan dan minumlah sampai jelas bagi kalian (perbedaan) benang putih dari benang hitam yaitu pagi”.(QS.Al-Baqorah:187).
Apabila adzan telah dikumandangkan sedang di tanganya ada makanan atau minuman, hendaklah ia menyelesaikan kebutuhannya, berdasarkan sabda Nabi : “Apabila diantara kamu mendengar azan sedang di tangannya ada bejana (gelas) maka jangan diletakkan sampai ia menyelesaikan hajatnya”.(HR.Abu Daud dll).
Masalah terakhir: Apabila seseorang melakukan pembatal puasa sedang ia mengira masih malam (belum terbit fajar) lalu jelas bagi dia bahwa fajar telah terbit maka tidak apa-apa dan puasanya tetap sah, karena dia belum yakin pada saat dia makan atau minum atau semisalnya akan terbit matahari, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasanya beliau berkata: “Allah telah menghalalkan makan dan minum selama kamu masih ragu”.(Fathulbari.3/130)
Pada akhir terjemahan ini, penulis mohon kepada Allah agar menjadikan terjemahan ini sebagai amal soleh bagi penulis di sisi Allah dan menjadi saksi di hari kiamat kelak serta bermanfaat bagi siapa saja yang membaca tulisan ini dimanapun ia berada.
Selamat menunaikan ibadah puasa semoga Allah SWT mencatat kita semua sebagai orang-orang yang mendapat ampunan dan dijauhkan dari pedihnya api neraka...Amien.

Diterjemakan secara bebas dari kutaib: ( ( تعلم فقه الصيامyang ditulis oleh: syekh Maajid bin su’ud. Dan artikel (70مسالة في الصيام ) yang ditulis oleh syekh Muhammad bin soleh Al-munajjid dengan disertai sedikit tambahan dan pengurangan.


Sona’a, Rabu 28 juli 2010 M / sya’ban 1431 H.
YEMEN
WASSALAM

Tidak ada komentar: