سأمضي ولو كلفتني الطريق وقل الوفي و خان الصديد سأمضي إلى الله يا صاحبي فإني أخاف عذاب الحريق
RISYWAH(SUAP-MENYUAP)
RISYWAH (SUAP-MENYUAP) DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN DAN AL HADITS
(SEBUAH KAJIAN TEMATIK)
Disususun Untuk Memenuhi Mata Kuliah
Tafsir Hadits Maudhui Ekonomi Islam
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. KH.Didin Hafidhuddin, M.sc
Dr. Ibdalsyah, MA
DR.Ahmad Mulyadi Kosim, MHI
Dr.H.Akhmad Alim, MA
Disusun Oleh
ABU AZZAM
NPM: 11326121096
PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM
SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2011/2012
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS IBNU KHALDUN BOGOR
BAB I
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Riswah hari ini merupakan jarimatul ‘aamah atau kejahatan publik yang telah membudaya dan biasa di negeri kita. Membudaya karena menjadi suatu hal yang seolah melekat kuat disetiap lini kehidupan masyarakat dari kelas pejabat sampai kelas rakyat. Dan menjadi biasa karena lumrah dilakukan dan diketahui masyarakat tanpa tedeng aling-aling .
Banyak orang yang tidak peduli melakukan risywah dalam transaksi, pekerjaan bahkan dalam hukum demi kepentingan pribadi atau kelompok. Mereka berasumsi hal tersebut sah-sah saja bahkan dianggap sebagai rizqi yang halal untuk dinikmati. Hari ini orang pun bisa kebal hukum karena uang suap yang menyumpal mulut para hakim yang doyan dengan harta haram. Bahkan Budaya KKN di negeri ini menjadi subur karena ditopang dengan budaya suap-menyuap/risywah yang telah mengakar kuat. Kita lihat mulai dari tingkat pejabat tinggi sampai tingkat RT dan RW melakukan suap. Memang parah sistem birokrasi di negeri ini karena terlanjur di pernuhi dengan risywah.
Untuk memperkuat dari steatment diatas di latar belakang masalah iini akan kami nukilkan beberapa fakta dari berbagai media masa yang insya Allah bisa dipertanggungjawabkan dan independent dalam pemberitaan berkaitan dengan tindak suap-menyuap dan korupsi di negeri ini.
1. Suap Menyuap Di Lembaga DPR
sumber : (http://www.lampung-news.com) pada hari Jumat, 26/ 08/ 2011, 16:13 (GMT+7)
Terungkapnya kasus korupsi M.Nazaruddin,anggota DPR-RI yang menyeret sejumlah anggota DPR lainnya kembali mempertontonkan kepada rakyat bahwa suap-menyuap atau korupsi sangat berpotensi terjadi di lembaga negara seperti DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Kasus ini menjadi “semakin ramai” karena selama pelariannya di luar negeri Nazaruddin menyebutkan sejumlah nama lain seperti Menteri Pemuda dan Olah Raga Andy Mallarangeng serta Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang juga mendapatkan bagian lumayan besar. Tentu saja, ocehan Nazar itu menjadi pukulan berat- terutama Partai Demokrat yang memenangkan Pemilu 2009 lalu dengan semboyan “ katakan tidak untuk korupsi”. Pasalnya, kasus yang telah mengisi opini publik itu memberitahu bahwa korupsi bisa muncul di lembaga terhormat itu karena inisiatif anggotanya. Kasus Nazaruddin juga menunjukkan adanya mata rantai yang luas dan berpotensi terjadi karena langkah politik. Dari pemeriksaan dua orang terdakwa kasus tersebut di Pengadilan Tipikor Jakarta (Rosa Manulang dan Idris )
terungkap bahwa proses penyuapan sudah diskenariokan sejak awal. Sudah ada yang mengatur pembagian dan juga persentase pembagian.
Sudah pasti, kasus Nazaruddin membuat kepercayaan rakyat terhadap wakilnya di legislative yang memang sudah menurun itu semakin tidak popular. Banyaknya kasus korupsi (suap menyuap) yang menyeret anggota DPR, seperti kasus cek pelawat pemilihan Deputi Senior (DGS) Bank Indonesia Miranda Gultom yang menginapkan sejumlah anggota DPR di lembaga pemasyarakatan, kemudian kasus dua orang anggota DPR secara eksplisit mengaku menerima amplop (berisi 1000 dolar) dalam rangka pembahasan divestasi Bank Niaga. Selanjutnya, kasus Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri terkait dana non bujeter yang disebut-sebut Rokhmin diberikan kepada sejumlah anggota DPR untuk memuluskan pembahasan UU Kelautan, dan yang paling “top” adalah kasus bailout (pemberian dana talangan) sebesar Rp6,7 triliun kepada Bank Century, dua tahun lalu yang juga melibatkan salah seorang anggota DPR yang dikenal cukup vokal saat membahas permasalahan ini di DPR. Selain itu, kasus lain yang juga cukup ramai adalah pembengkakan (mark up) nilai proyek-proyek perintis Kementerian Perhubungan tahun 2009 lalu yang juga melibatkan salah seorang anggota DPR dari wilayah Sulawesi. Dalam kasus ini si anggota dewan meminta “bagian” dari jumlah yang telah digelembungkan dalam anggaran proyek tersebut. Masih banyak kasus lainnya yang memberikan gambaran kepada publik bahwa potensi korupsi di lembaga ini sangat perlu diwaspadai dan sudah membahayakan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Modusnya, pada rapat-rapat yang menentukan besaran anggaran untuk suatu kementerian misalnya, dalam hal perumusan materi keputusan dan pengambilan keputusan mendapat perhitungan tersendiri. Hitungannya, tergantung seberapa besar pertarungan terhadap materi yang diperjuangkan. Tentu saja bagi organisasi (partai) yang memiliki bargaining yang lebih besar berpeluang pula mendapatkan jumlah yang lebih besar pula.
Yang juga menarik adalah manuver yang dibuat oleh anggota DPR untuk mengalihkan perhatian publik dengan memunculkan isu-isu “seksi” lainnya. Seperti adanya tanggapan DPR yang cukup gencar dengan korupsi Gayus HP Tambunan tahun lalu sehingga perhatian publik dan para pengamat terarah kesana. Sementara itu, perhatian atau sorotan terhadap pembahasan anggaran Kemenpora untuk Wisma Atlet SEA Games pada tahun 2010 tersebut sepertinya terkesampingkan. Kini publik bertanya, apakah masih ada isu besar lain yang dimunculkan untuk “meredam” kasus Nazaruddin?
Terkait dengan praktek suap-menyuap di lembaga dewan seperti tersebut di atas, publik mencemati bahwa hampir semua komisi-komisi di DPR dan juga di DPRD (daerah) memiliki potensi yang tidak sama. Karena itu di masyarakat sudah terbangun istilah “komisi basah” dan “Komisi Kering”. Demikian pula, alasan dan dampak proses penyuapan memiliki banyak keragaman di luar kepentingan mendapatkan keuntungan finansial itu sendiri. Dari kasus Nazaruddin misalnya, ada yang mengatur pembagian untuk individu dan mungkin juga untuk partai. Ini menunjukkan bahwa “kejahatan” seperti itu bisa sekali digunakan menjadi salah satu sumber finansial partai.
Contoh lain yang juga sudah sering terdengar adalah kegiatan reses turun ke lapangan memeriksa sejumlah proyek telah dimanfaatkan juga oleh anggota Dewan meminta “amplop” kepada dinas/instansi yang diperiksa mereka. Beberapa waktu lalu misalnya pers di Lampung memberitakan juga adanya anggota DPRD Kota Bandarlampung meminta bantuan ke beberapa pengusaha untuk biaya studi banding. Sebelum itu ada juga rumors bahwa DPRD Provinsi Lampung menerima “amplop” dari eksekutif terkait program ruitslag GOR Saburai Bandarlampung dari pusat kota ke wilayah pinggir kota di Kemiling.
Di dunia bisnis, adalah merupakan hal yang lumrah untuk mengelurkan dana atau transaction cost untuk melancarkan urusan. Biaya ini bagi sebuah perusahaan merupakan komponen biaya yang sudah umum pada proyek-proyek pembangunan pemerintah. Artinya jika transaction cost nya besar maka anggaran yang dikeluarkan negara juga besar. Padahal sebagian dari anggaran itu dibagi-bagi oleh pihak tertentu. Pengusaha tentunya tidak terlalu keberatan selama nilai keuntungannya tidak terlalu digerogoti.
Bagaimana dengan Nazaruddin?
Melihat pengalaman yang sudah-sudah, “semangat” M.Nazaruddin yang disebut banyak pihak akan menguak kasus-kasus lain yang besar-besar, bukanlah sesuatu yang mudah, dan karena itu tak perlu banyak berharap. Mulai ada kecenderungannya kasus yang kini diproses KPK itu hanya akan berputar-putar seputar Nazaruddin dan anak buah perusahaannya saja. Upaya Nazaruddin untuk mengungkap kasusnya karena tidak mau sendiri menanggung akibat, kelihatannya juga menghadapi situasi yang tidak mudah. Bahkan berpeluang menjadi bumerang bagi dia, baik secara pribadi atau pun kelompok.
Juru bicara KPK Johan Budi mengatakan KPK kini sedang mengumpulkan bukti-bukti aliran dana suap seperti yang disebut-sebut Nazar, sebab yang ada saat ini barulah ocehan M.Nazaruddin saja. “Buktinya belum ada untuk melakukan pemanggilan terhadap sejumlah nama tersebut,” katanya beberapa waktu lalu.
Dari semangat KPK tersebut, publik melihat bahwa lembaga ini sepertinya mencari jalan supaya masalah ini berjalan “lembut” . Juru bicara KPK pun memberikan tanggapan minim, supaya dampak negatifnya lebih ringan. Padahal, KPK sendiri sudah sangat jelas bahwa Indonesia sendiri saat ini termasuk negara yang berada di urutan atas dalam masalah korupsi.
2. Wakil Rakyat, Apa yang Sedang Kalian Lakukan?
Sumber : (http://www.radarlampung.co.id) pada hari Rabu, 01, 01 Februari 2012 jam 12:16 WIB.
Oleh: Ahmad Ubaidillah (Mahasiswa Program Magister Studi Islam UII Jogjakarta)
Melihat sepak terjang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhir-akhir ini, kita seperti menyaksikan tindakan orang-orang yang sudah tak waras. Betapa tidak, belum selesai rencana alokasi Rp2 miliar untuk dana renovasi toilet, kini para wakil rakyat itu menganggarkan Rp20,3 miliar untuk renovasi ruang kerja Badan Anggaran DPR. Sungguh, hal ini menyakiti hati rakyat!
Terlintas dalam benak kita sebuah pertanyaan, apakah anggota DPR RI lupa atau pura-pura lupa ketika mereka pernah mengumbar janji-janji manisnya saat melakukan kampanye melalui media massa? Baik di koran, televisi, maupun spanduk besar menjelang pencoblosan. Mereka menjanjikan akan menjadi wakil rakyat yang baik. Rakyat pun memilihnya dengan harapan, nasib rakyat menjadi lebih baik.
Setelah terpilih, wakil rakyat itu pun menikmati segala fasilitas negara berupa mobil mentereng, rumah mewah, gaji besar, dan berbagai tunjangan menggiurkan lainnya. Namun, di tengah kehidupan baru sebagai pejabat negara yang cenderung bersifat hedonis itu, anggota legislatif kemudian lupa akan janji-janji muluk yang pernah diumbar ketika kampanye. Mereka tidak ingat lagi kepada rakyat yang menjadikan mereka orang penting di negeri ini.
Dengan kehidupannya yang serbaglamor dan wah, sebagian anggota DPR RI malah sibuk dengan berbagai urusan yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat secara langsung. Bahkan, mereka asyik bergelimang dengan urusan-urusan yang bersifat remeh-temeh. Para dewan mbalelo dari menyuarakan dan menyalurkan aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Tidakkah para wakil rakyat yang duduk di kursi impor itu mendengar sebagian rakyat yang masih tidur di kolong jembatan? Tidakkah anggota DPR itu melihat betapa masih banyaknya anak-anak bangsa di negeri ini yang tak mampu bersekolah? Tidakkah mereka menyaksikan membludaknya rakyat jelata yang kesusahan mencari sesuap nasi?
Kebusukan
Tampaknya kita masih melihat dengan jelas kebusukan dari gedung DPR. Hal itu terbukti dari data hasil penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyatakan bahwa sebagian anggota dewan berlumuran praktik suap-menyuap. Lihat saja pada 2010, suap-menyuap di kalangan DPR yang ditindak KPK mencapai 27 kasus. Lebih parah lagi, jumlah itu meningkat dari delapan kasus pada 2009 dan lima kasus 2008.
Belum lagi, kita pernah menyaksikan salah satu anggota DPR tertangkap kamera wartawan sedang menonton video porno ketika sidang paripurna beberapa waktu lalu. Ditambah, mereka hobi membolos saat sidang berlangsung. Dan, masih banyak perilaku-perilaku yang menyebabkan hujan kritik deras dari berbagai kalangan.
Lebih gila lagi, partai politik yang salah satu fungsinya memperjuangkan aspirasi rakyat, malah menyedot uang negara dalam setiap kegiatannya dan berusaha melindungi anggotanya masing-masing yang tersangkut korupsi.
Bahkan, bukan hal baru bahwa fraksi-fraksi di DPR beroperasi seperti mesin-mesin partai politik yang bergerak pada kebutuhan pragmatis. Mencari kekuasaan dan kekayaan (uang). Anggota dewan bak wayang-wayang yang siap dimainkan sang dalang (pemimpin partai).
Tidak heran, kalau kader-kader partai politik itu disiapkan untuk merampok uang negara. Dalam konteks ketidakmempanan kritik rakyat terhadap DPR tersebut, kita menyaksikan adanya mental bebal pada diri dewan yang terhormat. Mentalitas bebal adalah suatu kelemahan mendasar.
Mental bebal ini telah membuat para wakil rakyat sulit untuk berubah dan membuat mereka semakin buta pada kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan. Mental bebal inilah yang menghalangi anggota dewan sebagai wakil rakyat untuk menjalankan fungsi keterwakilan secara baik.
Tidak cukup sampai di situ. Untuk menggambarkan sikap ’’membabi buta’’ sebagian anggota DPR itu, sebetulnya tidak lebih dari wacana kegilaan para wakil rakyat saja. Sebagaimana yang dikatakan Foucault, ’’Di dalam Kegilaan Orang, Menipu Dirinya Sendiri’’.
Bila benar bahwa seorang gila dituntun kepalsuan citra (arbitrariness of image), ia memenjarakan dirinya dalam lingkaran kesadaran palsu. Akibatnya, kebutaan dan ketulian lah yang akan terjadi.
Begitu juga elite politik (DPR), mereka sebenarnya buta dan tuli. Buta karena mereka tidak melihat kondisi rakyat yang menginginkan kesejahteraan mereka terpenuhi. Misalnya, sandang, pangan, dan papan yang murah. Tuli karena mereka tidak mendengar kritikan rakyat.
Bagaimanapun, pertobatan kolektif perlu segera dilakukan. Krisis kepercayaan masyarakat harus menjadi ’’lampu kuning’’ untuk berefleksi dan berubah. Mereka perlu secepatnya berbenah diri dan mulai menjadi wakil rakyat yang mau mendengarkan aspirasi rakyat serta mau menerima kritik konstruktif untuk kemajuan dirinya dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Sudah waktunya para anggota dewan mengubah bau busuk gedung DPR itu menjadi ’’ruangan’’ yang harum. Sudah saatnya perilaku koruptif segera dihentikan. Artinya, para anggota legislatif harus menata niat secara serius dan konsisten dan mengoptimalkan fungsi mereka sebagai wakil rakyat serta mengoptimalkan perannya sebagai penyambung lidah rakyat.
Terakhir dan penting, sebagai pemimpin wakil rakyat, mereka seharusnya tidak terjebak dalam ekstasi serta kegilaan yang melukai hati nurani rakyat. Mereka mestinya tetap serius dan konsisten memperjuangkan dan mendengarkan aspirasi rakyat. Yaitu menciptakan politik yang luhur, memperbaiki tatanan ekonomi yang merata, mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan, dan lain sebagainya. Bukan malah berhura-hura dan kegilaan yang melabrak hati nurani rakyat. Wakil rakyat, bertanyalah pada diri Anda, apa yang sedang Anda lakukan? (*)
3. Stop Penistaan Simbol Keagamaan dalam Persidangan!
Sumber : ( www.hidayatullah.com) di posting pada hari Kamis, 23 Februari 2012.
Oleh: Ahmad Arif Ginting
Masuknya politisi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, dalam persidangan kasus suap Wisma Atlet semakin menambah panjang “antrian” perempuan sebagai tersangka bahkan terdakwa dalam kasus korupsi di negeri ini. Uniknya, jika diperhatikan dengan seksama, hampir sembilan puluh sembilan persen (99%) mereka menggunakan simbol-simbol agama (khususnya Islam) berupa kerudung, tudung, jilbab, bahkan cadar. Apa yang bisa kita baca dari fenomena mutakhir di negeri zamrud khatulistiwa ini?
Feminisasi Korupsi?
Sangat menarik membaca tulisan Muhammad Afifuddin, “Feminisasi Korupsi” di Koran Republika (15/02/2012) kemarin; “Dari yang telah ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa/tervonis, ada nama seperti Imas Diansari, hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial PN Bandung yang tertangkap basah menerima suap Rp 200 juta.
Selain itu, dua anggota DPR Ni Luh Mariani Tirtasari dan Engelina Pattiasina yang tersangkut kasus cek pelawat, Nunun Nurbaetie dan Miranda S Goeltom (kasus suap pemilihan Deputi Gubernur BI), serta Wa Ode Nurhayati (mafia banggar DPR). Sosok lainnya adalah Mindo Rosalina Manulang, Neneng Sri Wahyuni, hingga yang terbaru Angelina Sondakh dalam kasus suap Wisma Atlet
Sedangkan dalam kasus suap Kemenakertrans, Dhanarwati malah sudah divonis dua tahun enam bulan. Bahkan, kalau mundur cukup jauh ke belakang, jangan kita lupakan `ratu sel mewah' Artalyta Suryani (Ayin) yang juga resmi divonis sebagai koruptor. Sementara itu, perempuan yang sempat dikaitkan dengan berbagai skandal suap/mark up korupsi adalah Nining Indra Saleh (Setjen DPR), Athiyah Laila (istri Anas Urbaningrum dalam kasus suap Wisma Atlet), atau bahkan Sri Mulyani dalam kasus Century. Sedangkan, di luar komplotan mafia anggaran dan penyuap aparat negara tersebut, ada nama Malinda Dee yang sempat beken karena kiprahnya membobol uang nasabah Citibank. Masih ada beberapa nama lagi yang lain yang akan sangat memakan ruang jika harus dituliskan semuanya.
Apakah ini kebetulan semata? Asumsinya, uang tidak punya jenis kelamin. Siapa pun mempunyai `bakat' korupsi asalkan menemukan momentum (niat dan kesempatan) yang tepat. Bisa jadi fenomena ini 100 persen sebuah kebetulan yang cantik. Namun, melihat rentetan kejadian kasus per kasus di mana keterlibatan perempuan menjadi variabel vital dalam skenario perampokan anggaran rakyat tersebut, tampaknya asumsi kebetulan sulit untuk dinalar.
Penulis buku "Korupsi Kepresidenan" (2005), George Junus Aditjondro, dalam sebuah seminar di UGM awal tahun ini mengutarakan, fenomena perempuan banyak tersangkut korupsi merupakan gejala yang relatif baru di Indonesia. Tekanannya bukan pada persoalan kebetulan atau by design, melainkan lebih pada bagaimana kita memaknai perubahan sosiologis dalam konteks gender dan feminisme yang bersangkut paut dengan skandal-skandal keuangan tersebut.
Di bagian akhir tulisannya, Muhammad Afifuddin menegaskan, ketika akses ruang publik yang selama ini didominasi kaum laki-laki dibuka juga untuk perempuan, mereka ternyata sama rentannya dengan laki-laki. Pertanyaannya, mengapa kerentanan itu terjadi? Karena para `perempuan korup' itu sedang terjangkit sindrom yang oleh bapak Psikoanalisis Sigmund Freud disebut sebagai histeria (euforia).
Efek fatal dari histeria itu adalah melemahnya fungsi superego sebagai pagar penjaga moralitas yang berkembang di kehidupan sosial seseorang oleh menguatnya ego secara berlebihan dan berciri destruktif. Manifestasi dari histeria ego adalah egoisme diri untuk kaya secara instan tanpa memedulikan nasib jutaan orang lainnya.
Padahal, hasil riset Bank Dunia tahun 1999 yang dilakukan Development Research Group/Poverty Reduction and Economic Management Network menemukan kenyataan menurunnya tingkat korupsi bersamaan dengan kian meningkatnya jumlah perempuan di tingkat parlemen nasional. Riset tersebut menjadi dasar bagi Bank Dunia untuk merekomendasikan agar semua negara memberikan peluang yang lebih besar bagi perempuan menduduki jabatan di pemerintahan dan parlemen karena keberadaan mereka berpotensi untuk menurukan tingkat korupsi (Neta S Pane, 2011).
Apa yang terjadi di Indonesia saat ini seakan mematahkan hasil penelitian Bank Dunia tersebut. Peran perempuan yang menduduki sejumlah jabatan penting di negeri ini tumbang satu per satu karena terlibat korupsi. Data ICW menyebutkan, pada 2008 dari 22 koruptor yang ditangkap, dua di antaranya perempuan. Kemudian, pada 2011 jumlahnya meningkat lebih dari tiga kali lipat. Fakta ini sekaligus membantah pernyataan mantan komisioner KPK M Jasin bahwa perempuan selama ini lebih berperan sebagai pendorong korupsi yang dilakukan laki-laki.
4. Mengurus Nikah pun Dijadikan 'Objekan'
Sumber : (http://koran.republika.co.id) pada hari Rabu, 22 Februari 2012 pukul 11:40 WIB.
Bulan lalu saya mengurus surat numpang nikah di KUA kecamatan Cisauk, Tangerang Selatan. Begitu masuk, surat langsung diurus dan saya menunggu di ruang tunggu depan KUA. Sambil menunggu, saya membaca sebuah tulisan tentang peraturan pemerintah yang difigura rapi dan dipajang di dinding KUA, bahwa biaya pencatatan pernikahan adalah Rp. 30.000.
Tapi, ketika saya tanya ke petugasnya "berapa?", malah diminta Rp.50.000. Cukup kaget memang. Sedangkan untuk mengurus surat pengantar dari Kelurahan ke KUA saja petugas kelurahan minta bayaran Rp.150.000 dengan alasan "Nikah kan peristiwa sekali sehidup dek.." Dan semua itu saya lakukan sendiri tanpa perantara calo atau bantuan orang kelurahan.
Saya kembali terkejut ketika mendengar cerita tetangga yang minta 'diurusin' (istilah minta bantuan orang kelurahan) surat numpang nikah dari Kelurahan sampai KUA yang hanya meminta Rp.200.000, sedangkan waktu itu saya ditawari pengurusan surat numpang nikah sampai jadi Rp.250.000.
Miris…
Fakta-fakta diatas merupakan keterpurukan bangsa ini yang benar-benar telah menjadi kejahatan publik. Ternyata bukan hanya kaum laki-laki. Kaum wanitapun tidak mau ketinggalan melakukan perampokan harta rakyat secara terselubung ini. Ulah para pejabat tersebut merupakan bagian kecil yang terekspos oleh media masa. Ibarat gunung salju ditengah lautan. Kelihatannya dipermukaannya hanyalah sedikit namun apa yang tertutup oleh air bagaiankan gunung yang begitu besar.
Tidak sekedar itu dewasa ini pun banyak orang untuk memasukkan anak ke sekolah saja sering main suap, apalagi menjadi pegawai negeri dan polisi seolah hal itu sudah sangat lumrah sekali. Maka dari itu jangan heran kalau sistem birokrasi di negeri ini bobrok dan carut-marut bagai benang kusut. Karena memang mentalitas rendahan tukang suap dan penerima suap hanya akan mengukuhkan sistem lingkaran setan yang hanya bekerja menumpuk uang demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Disi lain suap di pahami sebagai hadiah atas wujud apresiasi kedekatan dan kecintaan yang obyektif. Namun seringkali orang berbuat risywah dengan dalih memberi hadiah. Bahkan hari ini marak Hadiah kepada pegawai, khususnya pegawai pemerintah, atau gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Seringkali pula orang tidak faham dan tidak bisa membedakan antara risywah dengan hadiah. Memang salah satu langkah dan tipu daya setan adalah mengubah nama sesuatu yang haram dengan nama yang menggiurkan seperti riba dengan bunga, risywah dengan hadiah atau parcel, penzina dengan “Pekerja” seperti istilah PSK dll. Sehingga banyak yang melakukan risywah dengan dalih memberi hadiah. Memang kalau kita tidak hati-hati bisa terjebak karena bedanya memang sangat tipis.
Suap memang perkara mentalitas rendahan yang menunjukkan hubbud dunya (cinta pada dunia) yang berlebihan. Bagaimana tidak demikian ketika suara keadilan menjadi padam gara-gara di sumpal dengan uang sogokan. Mulut-mulut yang suka berkoar-koarpun menjadi hening karena uang suap yang menggiurkan. Oleh karena itu masyarakat terutama kaum muslimin sangat perlu memahami masalah ini dari perspektif yang adil dan benar sehingga negeri ini benar-benar terbebas dari praktek risywah.
B. RUMUSAN MASALAH
1.Apakah yang dimaksud dengan risywah?
2. Bagaimana pandangan Islam tentang hukum risywah?
3. Apa saja macam-macam dari risywah?
4. Faktor apa saja yang mendorong risywah?
5. Bagaimana syarat-syarat dibolehkannya risywah?
6. Bagaimana dampak negatif /bahaya dari risywah dalam kehidupan?
7. Bagaimana solusi untuk mengatasi risywah?
8. Apakah perbedaan anatara riswah dan hadiah?
C. METODOLOGI PENULISAN
Dalam menyusun makalah ini penulis menggunakan metodologi tafsir maudhu’i. Metodologi ini sering juga di kenal dengan metodologi tafsir tematik. Deskripsi dari metodologi tersebut yaitu peneliti memulai analisis permasalahannya dengan mengumpulkan ayat-ayat al Qur’an yang representatif mengenai tema tertentu dengan harapan mendapatkan sudut pandang yang utuh mengenai permasalahan yang diteliti. Kemudian di ayat tersebut didukung pula dengan asbabun nuzul ayat serta dilengkapi berbagai macam argumen dari hadits yang pada akhirnya mengerucut pada jawaban dari rumusan masalah yang di tanyakan . Pada dasarnya metode ini termasuk dalam tafsir bil ma’tsur.
Abdul Hay al-Farmawi dalam bukunya buku al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu'i mengemukakan secara terinci langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu'i. Langkah-langkah tersebut adalah:
a. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab nuzulnya.
d. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.
e. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline).
f. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang 'am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PANDANGAN AL QUR’AN TENTANG RISYWAH
Risywah merupakan kejahatan yang dilarang dalam Islam begitu juga tercela dalam kehidupan manusia. Dikatakan kejahatan karena memang di dalam prakteknya sarat dengan manipulasi dan kedzaliman terhadap sesama. Kalau kita teliti dan kita kaji di dalam al Qur’an maka akan kita dapati bahwa disana ada 4 ayat yang berkaitan dengan risywah . Satu ayat di surat Al Boqoroh dan tiga ayat di surat Al Maidah. Insya Allah akan kita paparkan ayat tersebut.
1. Firman Allah SWT surat al Baqoroh ayat 188.
••
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS.Al Baqoroh:188)
2. Firman Allah SWT surat al Maidah 42.
•
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.(QS.al Maidah :42)
3. Firman Allah SWT surat al Maidah 62-63.
“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya Amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan Perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.(QS.al Maidah: 62-63)
B. DEFINISI RISYWAH.
1. Definisi Risywah secara bahasa (etimologis)
Suap- menyuap dalam bahasa arab disebut dengan risywah. Sedangkan makna risywah dalam bahasa arab berasal dari kata kerja /fi’il (رَشا) dan masdhar (kata jadian) dari kata kerja tersebut adalah (الرَّشْوَةُ أوالرُّشْوَةُ أوالرِّشْوَةُ). Di dalam Lisanul ‘Arob Ibnu Mandzur menyebutkan perkataan Abul ‘Abbas
الرُّشْوَةُ مأْخوذة من رَشا الفَرْخُ إذا مدَّ رأْسَه إلى أُمِّه لتَزُقَّه
“Kata Rusywah / Risywah diambil dari konteks anak burung/ayam yang menjulurkan kepalanya pada mulut induknya seraya meminta agar makanan yang berada di paruh induknya di suapkan untuknya ’.
Adapun di dalam Mu’jam al Wasith disebutkan bahwa kalimat riswah berasal dari kata ( الرشاء ) yang bermakna :
الحبل أو حبل الدلو ونحوها
“ Seutas tali atau tali ember dan semacamnya”
2. Definisi Risywah Secara Istilah(terminologis)
Adapun riyswah secara bahasa di dalam al Mu’jam al Wasith disebutkan bahwa makna risywah adalah;
ما يعطى لقضاء مصلحة أو ما يعطى لإحقاق باطل أو إبطال حق .
“Apa-apa yang diberikan (baik uang maupun hadiah) untuk mendapatkan suatu manfaat atau segala pemberian yang bertujuan untuk mengukuhkan sesuatu yang batil dan membatilkan suatu yang haq”
Ibnu Hajar al ‘Asqolani di dalam kitabnya Fathul Bari menukil perkataan Ibnu al ‘Arobi ketika menjelaskan tentang makna risywah .
الرشوة كل مال دفع ليبتاع به من ذي جاه عونا على ما لا يحل
“Risywah atau suap-menyuap yaitu suatu harta yang diberikan untuk membeli kehormatan/ kekuasaan bagi yang memilikinya guna menolong/ melegalkan sesuatu yang sebenarnya tidak halal.”
Menurut Abdullah Ibn Abdul Muhsin risywah ialah sesuatu yang diberikan kepada hakim atau orang yang mempunyai wewenang memutuskan sesuatu supaya orang yang memberi mendapatkan kepastian hukum atau mendapatkan keinginannya . Risywah juga dipahami oleh ulama sebagai pemberian sesuatu yang menjadi alat bujukan untuk mencapai tujuan tertentu .
Adapun menurut MUI : suap (risywah) adalah pemberian yang diberikan oleh seorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syariah) atau membatilkan perbuatan yang hak. (الرشوة ما يحقق الباطل أو يبطل الحق) .
Jadi dari berbagai definisi diatas dapat kita simpulkan tentang definisi risywah secara terminologis yaitu: Suatu pemberian baik berupa harta maupun benda lainnya kepada pemilik jabatan atau pemegang kebijakan/kekuasaan guna menghalalkan (atau melancarkan) yang batil dan membatilkan yang hak atau mendapatkan manfaat dari jalan yang tidak ilegal.
3. Hubungan Makna Risywah Secara Etimologis dan Terminologis.
Kalau kita perhatikan ada hubungan erat antara makna riswah secara bahasa dan istilah. Pada dasarnya asal penggunaan kata adalah sesuai dengan makna bahasa kemudian berkembang dalam kehidupan keseharian. Secara bahasa asal kata riswah yang pertama adalah;
(رشا الفرخ) إذا مد رأسه إلى أمه لتزقه
Artinya ‘anak burung/ayam yang menjulurkan kepalanya pada paruh induknya seraya meminta agar makanan yang berada dalam paruh induknya di keluarkan untuknya. ’
Hal ini merupakan gambaran nyata bagi orang yang menerima suap. Ia ibarat seekor anak burung yang kecil dan lemah yang seolah tak mampu mencari sesuap makanan sendiri kecuali harus di suapin oleh induknya. Seandainya orang yang melakukan suap tahu bahwa apa yang dikeluarkan dari paruh tersebut ibarat muntahan tentunya dia merasa jijik. Adakah yang lebih lemah jiwanya dari seseorang yang menerima suap dari “muntahan” kantong saudaranya yang sebenarnya tidak halal baginya?
Adapun makna risywah yang berasal dari kata
(الرشاء) الذي هو حبل الدلو ليستخرج به الماء من البئر العميق
“Yaitu tali timba yang digunakan untuk mengambil air dari dalam sumur yang dalam.”
Hal tersebut ibarat seorang yang menyuap untuk mencapai tujuannya. Ia rela menjulurkan berbagai cara untuk mencapai tujuannya seperti seorang yang menjulurkan tali timba untuk memperoleh air dalam sumur.
C. PEMBAHASAN AYAT.
C .1. SURAT AL BAQOROH 188.
c. 1. 2. Sebab Turunnya Ayat Al Baqoroh ayat188.
Imam Ibnu Jarir ath Thobari begitu juga imam Ibnu Katsir dalam kitab mereka menjelaskan tentang asbabun nuzul dari ayat tersebut dengan mengatakan.
هذا في الرجل يكون عليه مال، وليس عليه فيه بَيِّنة، فيجحد المال ويخاصم إلى الحكام، وهو يعرف أن الحق عليه، وهو يعلم أنه آثم آكل حرامٍ.
“Ayat yang mulia ini turun pada seorang laki-laki yang memiliki harta dan bersengketa masalah harta tersebut dengan orang lain namun dia tidak memiliki bukti yang otentik (bahwa harta tersebut adalah miliknya). Maka pihak lawannya mengingkarinya dan pada akhirnya ia membawa persengketaan tersebut kepada para hakim dan diapun mengetahui bahwa kebenaran bersamanya dan dia juga faham bahwa (pihak lawannya) berdosa lantara memakan harta yang haram.”
Adapun imam al Qurtubi menyebutkan sebab turunnya ayat ini bahwa ‘Abdan Ibnu Asywa’ al Hadromi dan Imru Qois terlibat dalam suatu perkara soal tanah yang masing-masing tidak dapat memberikan bukti . maka Rosululloh saw menyuruh Imru Qois yang saat itu sebagai terdakwa yang ingkar agar besumpah. Maka tatkala Imru Qois hendak melaksanakan sumpah, turunlah ayat ini .
b. 1. 3 . Tafsir Ayat Al Baqoroh ayat 188.
Imam asy Syaukani dalam Fathul Qodir berkata:
“Ayat ini umum untuk seluruh umat, begitu juga berlaku larangan memakan yang haram dari semua jenis harta. Tidaklah di kecualikan dari larangan diatas selain yang di khususkan oleh dalil tentang bolehnya memakan harta tersebut. Jika ada dalil yang menafikan larangan maka dia tidak termasuk megambil dengan cara yang batil akan tetapi dengan cara yang hak. Dan dia memakan harta tersebut dengan cara yang halal bukan yang haram kendati pemiliknya tidak rela seperti dalam pengadilan pelunasan hutang ketika sang pengutang tidak mau membayarnya kemudian dipaksa membayarnya,begitu juga penyerahan harta wajib zakat , dan nafkah seseorang yang diwajibkan secara syar’i. pada intinya bahwa harta yang dilarang oleh syariah untuk diambil dari pemiliknya maka hal tersebut merupakan memakan harta dengan cara yang batil walaupun pemiliknya rela.”
Menurut Imam al Qurtubi, bahwa di dalam ayat tersebut Allah melarang untuk makan harta orang lain dengan jalan yang batil. Termasuk di dalam larangan ini adalah larangan makan hasil judi, tipuan, rampasan, dan paksaan untuk mengambil hak orang lain yang tidak atas kerelaan pemiliknya, atau yang di haramkan oleh syariat meskipun atas kerelaan pemiliknya,seperti pemberian/imbalan dalam perbuatan zina, atau perbuatan zalim, hasil tenung,harga minuman yang memabukkan(MIRAS), harga penjualan babi dan lain-lain.
Menurut imam al Maroghi bahwa larangan Allah dalam ayat ini (janganlah kamu makan harta diantara kamu) maksudnya janganlah sebagian dari kamu memakan harta sebagian yang lainnya, adalah mengingatkan bahwa menghormati harta orang lain selainmu berarti menghormati dan menjaga haratamu. Sama halnya dengan merusak harta orang lain adalah sebagai tindak pidana terhadap masyarakat (umat) yang mana engkau adalah salah satu dari anggota masyarakat itu. Kemudian banyak hal yang dilarang dalam ayat ini , antara lain: makan riba, karena riba adalah memakan harta orang lain tanpa imbalan dari pemilik harta yang memberikannya. Juga termasuk yang dilarang adalah harta yang diberikan kepada hakim(pejabat0 sebagai suap dan lain-lain.
C. 2 . Surat Al-Maidah ayat 42.
c.2. 1. Asbabun Nuzul Surat al Maidah Ayat 42.
Imam ath Thobari dalam tafsirnya menyebutkan riwayat dari Qotadah berkaitan dengan ayat ini.
كان هذا في حكّام اليهودِ بين أيديكم، كانوا يسمعون الكذب ويقبلون الرُّشَى
“Bahwasanya ayat ini (turun) berkaitan dengan para hakim kaum Yahudi yang senantiasa mendengarkan kedustaan serta menerima uang suap.”
.
c. 2.2 . Tafsir Surat al Maidah Ayat 42.
Dalam menafsirkan ayat ini imam ath Thobari berkata,”Allah SWT berkata dalam ayat ini seraya menjelaskan bahwa yang demikian itu adalah sifat-sifat orang Yahudi yang Aku sifatkan padamu wahai Muhammad SAW bahwa sifat mereka senantiasa banyak mendengar perkataan batil dan dusta. Diantara mereka saling berkata; Muhammad saw seorang pendusta dan bukanlah seorang nabi. Dan diantara mereka ada yang berkata seraya berdusta, Sesungguhnya hukum pezina yang telah menikah(muhson) di dalam taurot adalah dicambuk dan tahmim(bukan di rajam), dan selainnya dari kedustaan dan mereka menerima risywah.”
Kemudaian imam ath Thobari menjelaskan ada sekitar 14 riwayat salah satunya imam dari Mujahid rohimahulloh bahwa makna ayat (أكالون للسحت) dalam ayat tersebut adalah Risywah.
Begitu juga imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata;
أكالون للسحت أي الحرام وهو الشوة
“Banyak memakan harta “suht”maksudnya adalah harta yang haram yaitu risywah”
Imam al Qurtubi menyebutkan ada 2 alasan kenapa harta haram seprti risywah disebut dengan “Suht”
1. (وسمي المال الحرام سحتا لأنه يسحت الطاعات أي يذهبها ويستأصلها) dinamakan harta haram “Suht” karena menghilangkan dan menghancur ketaatan.
2. ( سمي الحرام سحتا لأنه يسحت مروءة الإنسان.) dinamakan harta haram “Suht” karena menghilangkan kehormatan.
Adapun pendapat yang dipilih Imam Qurthubi adalah alasan yang pertama karena dengan hilangnya agama maka hilang pula kehormatan seseorang. Kemudian beliau menukil hadits dan atsar tentang risywah .
كل لحم نبت بالسحت فالنار أولى به قالوا: يا رسول الله وما السحت؟ قال: (الرشوة في الحكم). وعن ابن مسعود أيضا أنه قال: السحت أن يقضي الرجل لأخيه حاجة فيهدي إليه هدية فيقبلها.
“ Setiap daging yang tumbuh dari harta “suht” maka api neraka lebih layak baginya. Para sahabat bertanya; Wahai Rosululloh SAW apakah yang dimaksud dengan Suht? Rosululloh saw menjawab; suht yaitu suap menyuap dalam hukum. Dan dari Ibnu mas’ud raodhiyallahu anhu dia berkata bahwa yang di maksud dengan ‘suht’ yaitu seseorang memutuskan suatu perkara bagi saudaranya kemudian memberinya hadiah dan diterima hadiah tersebut.
C.3. Surat al maidah ayat 62 dan 63.
c. 3.1. Asbabun Nuzul Surat al Maidah Ayat 62 dan 63.
Secara eksplisit (mantuq) para mufasir tidak menyebutkan sebab turunnya ayat ini. Namun demikian secara implicit (mafhum) mereka menyebutkan bahwa ayat tersebut turun kepada kaum Yahudi yang terbiasa berbuat risywah dalam kehidupan mereka.
c.3.2. Tafsir Surat al Maidah Ayat 62 dan 63.
Imam Ibnu Katsir menukil riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dalam menafsirkan ayat ini bahwa beliau berkata; “Tidak ada di dalam al Qur’an suatu ayat yang lebih dahsyat mencela kaum Yahudi selain ayat tersebut.”
Adapun tafsir ayat ini menurut Ibnu Jarir adalah mereka (orang-orang Yahudi) yang disifatkan Allah di dalam ayat ini yaitu kebanyakan mereka saling berlomba-lomba dalam bermaksiat kepada Allah dan menyelisihi perintahnya. Begitu juga melanggar batasan-batasan Allah dalam permasalahan halal dan harom seperti dalam memakan ‘suht’ itulah harta yang mereka ambil dari manusia atas persoalan hukum yang bertentangan dengan hukum Allah.”
Dari uraian pendapat para mufasirin diatas maka dapat kita kerucutkan bahwa Allah mengharamkan risywah dimana hal tersebut merupakan kebiasaan orang-orang Yahudi . Di dalam surat al Baqoroh ayat 188 Allah melarang memakan harta dengan cara batil atau haram apapun jalannya. Namun di ayat tersebut terdapat qorinah (bukti yang menguatkan) bahwa yang dimaksudkan adalah risywah. Larangan tersebut diperkuat dengan ayat 42,63 dan 63 surat al Maidah yang merupakan celaan yang amat buruk bagi orang-orang Yahudi karena melakukan risywah.
Maka jelas sekali pandangan al Qur’an bahwa risywah merupakan kejahatan publik yang di haramkan oleh Allah dan merupakan kebiasaan orang-orang kafir dari kalangan Yahudi.
D. PANDANGAN HADITS TENTANG RISYWAH
Banyak sekali hadits-hadit yang menjelaskan tentang keharaman risywah. Imam at Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunannya .
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالمُرْتَشِيَ فِي الحُكْمِ.
“ Dari Abu Hurairoh radhiyallahu anhu berkata; Rosululloh saw melaknat orang yang menyuap dan yang menerimanya dalam masalah hukum.”
Hadits tersebut disebutkan juga oleh Imam al hakim dalam kitab beliau al Mustadrok dengan tanpa menyebutkan lafadz (فِي الحُكْمِ) .
Adapun Imam Ahmad dalam Musnadnya menyebutkan hadist yang senada dengan hadits diatas . Namun setelah diteliti para ulama hadist derajat hadits tersebut dhoif (lemah) .
عَنْ أَبِي زُرْعَةَ، عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: " لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ " يَعْنِي: الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا.
“ Dari Abu Zur’ah dari Tsauban berkata: Rosululloh saw melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap serta perantara keduanya.’
Dari hadits-hadits tersebut Rosullah saw tidak hanya melaknat orang yang melakukan risywah atau suap. Namun celaan juga dialamatkan bagi orang yang menerima risywah. Hadits-hadits diatas memberikan pandangan bahwa risywah haram baik orang yang memberikan maupun menerimanya.
E. PANDANGAN IJMA’ ULAMA TENTANG RISYWAH.
Banyak sekali dalil ijma’ yang menyebutkan bahwa risywah haram secara ijma’.Imam al Qurtubi ketika menafsirkan surat al Maidah ayat 42 berkata;
ولا خلاف بين السلف أن أخذ الرشوة على إبطال حق أو ما لا يجوز سحت حرام
“ Dan tidak ada perbedaan hukum dikalangan para salaf bahwa melakukan risywah untuk menolak yang hak atau dalam perkara yang dilarang merupakan riyswah(suht) yang haram.”
Di dalam kitab nihayatul Muhtaj Imam ar Romli yang dijuluki sebagai ‘asy Syafi’i ash shoghir/imam syaf’i kecil menjelaskan akan hal ini.
ومتى بذل له مال ليحكم بغير الحق أو امتنع من حكم بحق فهو الرشوة المحرمة بالإجماع.
،Kapan saja seseorang mencurahkan harta untuk berhukum dengan yang tidak haq atau menolak berhukum dengan yang haq maka ia telah berbuat risywah yang di haramkan secara ijma’ .
Hamd bin Abdurrohman al Junaidil dalam bukunya juga menjelaskan akan haramnya riswah secara ijma’ .
ولقد أجمع الصحابة و التابعون و علماء الأمة على تحربم الرشوة بجمبع صورها ووردت عنهم نصوص تدل على تنفيذ وتفسير ما جاء في الكتاب و السنة وتطبيق الابتعاد عن الرشوة ما أمكنهم ذلك.
“Dan sungguh telah bersepakat para shohabah dan tabiin begitu juga dengan para ulama umat atas haramnya risywah dengan segala bentuknya. Dan telah terdapat nash-nash yang menjelaskan tentang implementasi dan interpretasi apa yang terdapat dalam qur’an dan sunnah serta berusaha menjauhinya semaksimal mungkin.”
Selain berbagai nukilan diatas Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughniy ia berkata,
فأما الرشوة في الحكم ورشوة العامل فحرام بلا خلاف
“Adapun suap-menyuap dalam masalah hukum dan pekerjaan (apa saja) maka hukumnya haram tanpa ada selisih pendapat di kalangan ulama.
Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar menukil perkataan Ibnu Ruslan tentang kesepakatan haramnya risywah.,
قال ابن رسلان في شرح السنن: ويدخل في إطلاق الرشوة الرشوة للحاكم والعامل على أخذ الصدقات، وهي حرام بالإجماع
“Ibnu Ruslan berkata dalam Syarhus Sunan, “Termasuk kemutlaqan suap-menyuap bagi seorang hakim dan para pekerja yang mengambil shadaqah, itu menerangkan keharamannya sesuai Ijma’.
Imam ash-Shan’aniy dalam Subulussalam (2/24) juga berkata,
والرشوة حرام بالإجماع سواء كانت للقاضي أو للعامل على الصدقة أو لغيرهما، وقد قال الله تعالى: ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقاً من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون
“Dan suap-menyuap itu haram sesuai Ijma’, baik bagi seorang qadhi/hakim, bagi para pekerja yang menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. [QS. Al-Baqarah: 188].”
F. MACAM-MACAM BENTUK RISYWAH
Ibn Abidin dengan mengutip kitab al-Fath, mengemukakan empat macam bentuk risywah, yaitu:
1. Risywah yang haram atas orang yang mengambil dan yang memberikannya, yaitu risywah untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan pemerintahan.
2. Risywah terhadap hakim agar dia memutuskan perkara, sekalipun keputusannya benar, karena dia mesti melakukan hal itu.(haram bagi yang memberi dan menerima)
3. Risywah untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta penguasa menolak kemudaratan dan mengambil manfaat. Risywah ini haram bagi yang mengambilnya saja. Sebagai helah risywah ini dapat dianggap upah bagi orang yang berurusan dengan pemerintah. Pemberian tersebut digunakan untuk urusan seseorang, lalu dibagi-bagikan. Hal ini halal dari dua sisi seperti hadiah untuk menyenangkan orang. Akan tetapi dari satu sisi haram, karena substansinya adalah kedzaliman. Oleh karena itu haram bagi yang mengambil saja, yaitu sebagai hadiah untuk menahan kezaliman dan sebagai upah dalam menyelesaikan perkara apabila disyaratkan. Namun bila tidak disyaratkan, sedangkan seseorang yakin bahwa pemberian itu adalah hadiah yang diberikan kepada penguasa, maka menurut ulama Hanafiyah tidak apa-apa (la ba`sa). Kalau seseorang melaksanakan tugasnya tanpa disyaratkan, dan tidak pula karena ketama’annya, maka memberikan hadiah kepadanya adalah halal, namun makruh sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud.
4. Risywah untuk menolak ancaman atas diri atau harta, boleh bagi yang memberikan dan haram bagi orang yang mengambil. Hal ini boleh dilakukan karena menolak kemudaratan dari orang muslim adalah wajib, namun tidak boleh mengambil harta untuk melakukan yang wajib.
G. FAKTOR-FAKTOR PENDORONG RISYWAH.
Banyak sekali faktor pendorong terjadinya risywah diantaranya sebagai berikut.
1. Dho’ful iman/lemahnya iman.
Risywah sangat berhubungan dengan mentalitas iman yang rendah. Praktek suap merupakan refleksi dari lemahnya keimanan dalam diri seseorang. Tidak mungkin orang yang imannya kuat menempuh jalan risywah karena hal tersebut suatu pelanggaran syariat yang akan berimplikasi pada siksa di akhirat.
2. ‘Adamu al muroqobatillah/Tidak Merasa di awasi oleh Allah.
Orang yang melakukan risywah tidak merasa bahwa perbuatannya diawasi oleh Allah. Dia tidak merasa bahwa Allah memiliki malaikat yang mencatat amal setiap hamba. Seandainya dia bisa aman dan lepas dari pengawasan manusia dan pengadilannya. Maka tidak akan mungkin lepas dari pengadilan dan pengawasan Allah.
3. Tamak dan Serakah.
Suap-menyuap gambaran keserakahan manusia. Sikap tersebut merupakan bentuk ketidak qona’ahan dengan apa yang ditaqdirkan oleh Allah atas dirinya. Seolah orang yang melakukan risywah tidak percaya bahwa Allah adalah penentu segala sesuatu. Seandainya dia melakukan risywah namun Allah berkehendak lain atas perkaranya maka hal tersebut sangatlah mudah. Disebabkan karena tamak dan serakah risywah merajalela.
4. Malas berusaha.
Orang yang melakukan risywah ingin segala masalahnya tuntas secepat kilat apapun jalannya. Norma-norma hukum tidak lagi diindahkan untuk mencapai tujuannya. Banyak orang berfikir yang penting urusan selesai tanpa ditinjau dengan cara Islami atau tidakkah penyelesaian tersebut.Seharusnya seorang muslim berusaha kemudian baru hasilnya kita bertawakkal terhadap Allah swt.
5. Hilangnya sifat jujur dan amanat pada diri seseorang.
Banyaknya kasus suap-menyuap pada masyarakat salah satunya disebabkan karena hilangnya sifat jujur dan amanat pada diri seseorang. Jujur dan Amanat dua sifat yang hari ini luntur pada para pejabat maupun pelayanan masyarakat. Demi ambisi pribadi seseorang yang berbuat risywah menelanjangi sifat jujur dan amanat pada dirinya.
6. Tipisnya kepedulian sosial terhadap sesama Muslim.
Orang yang berbuat risywah tidak sadar bahwa dirinya merugikan orang lain yang lebih berhak darinya. Dia rela mengambil kemenangan dengan kedzaliman. Padahal sesame muslim adalah saudara . haram baginya kehormatan dan hak-haknya tanpa jalan yang benar.
7. Lemahnya penegakan hukum di Masyakat.
Lemahnya penegakkan hukum dimasyarakat menjadikan tradisi risywah mengakar kuat. Hukum dinegeri ini terlalu elastik bisa diplintir dan disetir pihak-pihak yang berkepentingan. Bahkan keadilan hukum hilang karena mulut penegak hukum telah disumpal dengan uang suap yang terlalu mengenyangkan. Tanpa adanya hukum yang kut budaya risywah akan senatiasa merambah dan bertambah.
H. SYARAT-SYARAT DI BOLEHKANNYA RISYWAH.
Hukum asal dari risywah adalah haram. Dan dibolehkan pada kondisi dan saat tertentu dengan syarat sebagai berikut.
1. Darurat .
Yang dimaksud dengan keadaan dharurat mempunyai dua pengertian yaitu khusus dan umum.
a. Darurat dalam pengertian khusus merupakan suatu kepentingan esensial yang jika tidak dipenuhi, dapat menyebabkan kesulitan yang dahsyat yangmembuat kematian.
b. Darurat dalam pengertian umum dan lebih luas merujuk pada suatu hal yang esensial untuk melindungi dan menjaga tujuan-tujuan dasar syariah. Dalam bahasa Imam Syatibisesuatu itu disebut esensial karena tanpanya, komunitas masyarakat akan disulitkan oleh kekacauan , dan dalam ketiadaan beberapa diantara mereka, manusia akan kehilangan keseimbangannya serta akan dirampas kebahagiaannya di dunia ini dan kejayaannya di akherat nanti.
Dapat diamati bahwa perhatian utama dari definisi darurat menurut imam Syatibi adalah untuk melindungi tujuan dasar syaria, yaitu menjaga agama,nyawa, keturunan, akal, kesehatan, menjaga dan melindungi kemulian serta kehormatan diri.
Adapun darurat tersebut memiliki syarat-syarat yang harus di penuhi diantaranya:
a. Darurat itu harus nyata bukan spekulatif atau imajinatif.
b. Tidak ada solusi lain yang ditemukan untuk mengatasi penderitaan kecuali hal tersebut.
c. Solusi itu (dalam hal ini risywah yang diambil) harus tidak menyalahi hak-hak sacral yang memicu pembunuhan, pemurtadan, perampasan harta atau bersenang-senang dengan sesama jenis kelamin.
d. Harus ada justifikasi kuat untuk melakukan rukhsoh / keringanan tersebut.
e. Dalam pandangan para pakar, solusi itu harus merupakan satu-satunya solusi yang tersedia.
2. Untuk mengambil kewajiban dan hak yang hilang saat didzalimi.
3. Tidak berlebihan dan menjadi kebiasaan.
4. Untuk Mendapatkan maslahah rojihah (riil) bukan dzoniyyah (perkiraan).
5. Tidak menghalalkan hal tersebut, namun mengingkarinya dan senatiasa beristighfar dan berdoa kepada Allah karena pada dasarnya cara itu haram.
I. DAMPAK NEGATIF/BAHAYA RISYWAH
Secara umum kejahatan risywah berimplikasi pada 3 sektor penting dalam kehidupan.
Diantara dampak negatif dari Suap adalah:
1. Bagi individu.
a. Risywah menghancurkan dan menyia-nyiakan potensi besar individu masyarakat dalam memberikan karya terbaik. Karena dengan risywah orang yang tidak berkompeten dan bukan ahlinya bisa duduk menjadi pejabat atau atasan.
b. Menurunkan etos kerja dan kualitas
2. Bagi masyarakat.
a. Risywah merusak akhlak masyarakat, menciptakan kehidupanan social yang tidak harmonis .
b. Risywah menghalangi dana orang sholih kepada yang lebih berhak.
3. Bagi negara.
a. Merusak tatanan hukum yang telah ada.
b. Mengacaukan sistem administrasi yang semula berjalan melalui SOP.
c. Risywah merupakan pintu gerbang para investor yang tidak bertanggung jawab untuk mengeruk devisa negara demi kepentingan pribadi atau kelompok
J. SOLUSI RISYWAH.
Risywah memang penyakit mentalitas rendahan yang telah menjamur di tengah masyarakat. Oleh karena itu Islam sejak dulu telah melarang praktek-praktek risywah dalam kehidupan. Karena hal tersebut sangat berbahaya oleh karena itu wajib di cari solusi untuk memberantasnya. Tentunya solusi tersebut di dasarkan pada konsep bahwa penjagaan lebih baik dari pada pengobatan.Diantara solusi yang bisa ditempuh dalam rangka memberantas risywah adalah sebagai berikut:
a. Penjagaan.
1. Memulai Dari diri sendiri.
Sebelum melakukan perubahan yang harus dirubah adalah diri kita sendiri yaitu dengan Menegakkan nilai-nilai Islami dalam setiap pribadi muslim. Jika nilai Islami telah menacap pada pribadi muslim maka dengan mudah praktek risywah bisa di minimalisir dalam kehidupan.
2. Memberikan penyuluhan pada masyarakat akan bahaya risywah.
Masyarakat harus senantiasa di bina untuk memandang bahwa praktek risywah adalah suatu amalan yang merugikan banyak pihak. Selain merupakan bentuk kedzaliman ia juga merupakan cermin moralitas yang rusak dan kotor. Salah satunya dengan memanfaatkan media yang ada dengan berbagai bentuknya.
3. Memberi suri teladan yang baik terutama pemimpin karena akan dipertanggungjawabkan segala amalan di dunia maupun di akhirat.
Praktek risywah yang tercium oleh KPK adalah sebagian kecil yang muncul di permukaan pejabat pemerintahan. Praktek suap menyuap dikalangan pejabat yang dipandang sebagai pemimpin rakyat akan memberikan stimulasi praktek risywah di tataran bawahan. Oleh karena itu hendaknya para pemimpin benar-benar memberikan suri teladan yang baik.
c. Pengobatan.
1. Penegakkan hukum
Tanpa penegakan hukum praktek risywah tidak akan bisa di hilangkan. Oleh karena itu pemerintah harus benar-benar konsekuen dengan gerakan disiplin nasional terutama disiplin dalam administrasi. Terlalu banyak kita dapati layanan masyarakat yang seharusnya gratis menjadi sulit dan berbelit-belit karena risywah dan tidak ada kedisiplinan serta penegakan hukum yang jelas.
2. PHK
3. Di publikasikan kepada khalayak tentang kejahatannya.
4. Diserahkan pada yang berwajib untuk di adili dan dihukum dengan setimpal.
5. Pembekuan aset pribadi atau perusahaan yang terkait.
6. Dipindah kerjakan di tempat lain bagi oknum yang bersangkutan.
K. PERBEDAAN RISYWAH DENGAN HADIAH.
Hari ini banyak orang melakukan risywah dengan dalih memberi hadiah. Hampir setiap tahun para pejabat kebanjiran parcel dengan dalih memberi hadiah. Padahal dalam Islam terdapat perbedaan antara hadiah dan risywah. Memang sumuanya berupa pemberian. Namun hadiah adalah pemberian yang dianjurkan dan riywah adalah pemberian yang di haramkan.
Dari Sahabat mulia Abu Hurairah Radhiallahu anhu berkata bahwa Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda:
تهادوا تحابوا
“Hendaklah kalian saling member hadiah niscaya kalian saling mencintai”.(HR. al Bukhori )
Kalau kita lihat konteks hadits diatas maka hadiah secara umum disyriatkan dan dianjurkan. Namun kalau kita korelasikan dengan hadits dibawah ini maka kita akan mendapatkan perbedaan antara hadiah yang murni dengan hadiah yang berkedok dengan risywah.
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْلتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
Abu Humaid al-Sâ’idiy berkata; bahwa Nabi SAW mengutus seorang laki-laki, yakni Ibn al-Lutbiyyah, untuk memungut zakat di kabilah Asad, ketika sampai di hadapan rasul ia berkata: “ini untuk kalian dan ini untukku sebagai hadiah”. Mendengar hal itu Nabi bersabda: “mengapa ia tidak duduk saja di rumah bapak atau rumah ibunya, maka ia dapat melihat apakah ia akan diberi hadiah atau tidak, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya: tidak seorangpun di antara kalian yang mengambil sesuatu (tampa alasan yang benar) kecuali pada hari kiamat ia akan menggendong unta yang meringkik, sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembek”: kemudia Nabi SAW mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat ketiaknya, seraya berdoa:”Ya Allah bukankah aku sudah menyempaikan kepada meraka”, sampai tiga kali.
Pada hadits diatas nabi saw sangat melarang pejabat amil zakat yang mengambil hadiah dari zakat yang dipungutnya. Semua itu karena kalaulah dia buka berstatus sebagai pejabat tentunya tidak mungkin orang memberi hadiah padanya. Jadi dia mendapatkan hadiah karena kedudukannya sebagai pejabat. Oleh karena itu di dalam Islam para pejabat dilarang menerima hadiah atau parcel kecuali dari orang yang ketika dia bukan menjadi pejabat sering member hadiah. Semua itu dalam rangka mengantisipasi terbukanya pintu-pintu riyswah. Ibnu Qudamah dalam al Mughni menjelaskan pada pembahasan.
(ولا يقبل هدية من لم يكن يهدي إليه قبل ولايته/ dan tidak menerima hadiah(bagi pejabat)kecuali dari orang yang terbiasa memberi hadiah sebelum dia menduduki jabatannya) dengan memberi argumen yang sangat logis.
وذلك لأن الهدية يقصد بها في الغالب استمالة قلبه ليعتني به في الحكم فتشبه الرشوة
“Larangan memberi hadiyah kepada pejabat tersebut karena hadiah secara umum bertujuan agar yang diberi hadiah hatinya condong sehingga diperhatikan ketika terjadi masalah hukum. Dari situlah hadiah pejabat mirip dengan risywah”
Karena urgennya masalah ini maka Imam al Bukhari dalam shahihnya membuat satu bab khusus yaitu
باب مَنْ لَمْ يَقْبَلِ الْهَدِيَّةَ لِعِلَّةٍ.
وَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَتِ الْهَدِيَّةُ فِي زَمَنِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم هَدِيَّةً وَالْيَوْمَ رِشْوَة.
“Bab Tidak Menerima Hadiah dikarekan Sebab Tertentu. Dan berkata Umar bin Abdul Aziz; “Hadiah di zaman Rosulullah SAW adalah hadiah namun pada masa ini (sekarang) hadiah tidak sama halnya dengan risywah.”
Secara mendasar perbedaan antara hadiah dan risywah dapat ditinjau dari dua sisi dibawah ini:
1. Ditinjau dari segi hukum Islam.
Dari segi hukum Islam hadiah sangat dianjurkan karena pemberian hadiah merupakan sarana mempererat tali ukhuwah sesama muslim. Adapun risywah maka hukum asalnya haram. Kecuali dengan syarat yang disebutkan di atas.
2. Ditinjau dari tujuan/maksud.
Hadiah bertujuan untuk beribadah ikhlas kepada Allah semata dan mempererat ukhuwah. Adapun risywah tujuannya bukan karena Allah melainkan ada udang di balik batu dari pemberian tersebut.
Dari uraian singkat di atas sangat jelas perbedaan antara hadiah dan risywah. WAllahu a’lam bishowab.
BAB III
KESIMPULAN
1. Risywah secara bahasa bermakna “seutas tali/kabel ” dan secara istilah yaitu ‘Apa-apa yang diberikan(baik uang maupun hadiah) untuk mendapatkan suatu manfaat atau segala pemberian yang bertujuan untuk mengukuhkan sesuatu yang batil dan membatilkan suatu yang haq.
2. Risywah dalam pandangan hukum Islam adalah haram berdasarkan dalil al Qur’an ,as Sunnah dan Ijma’ ulama.
3. Macam –macam risywah diantara yang disebut ulama ada 4 yaitu
a. Risywah yang haram atas orang yang mengambil dan yang memberikannya, yaitu risywah untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan pemerintahan.
b. Risywah terhadap hakim agar dia memutuskan perkara, sekalipun keputusannya benar, karena dia mesti melakukan hal itu.(haram bagi yang memberi dan menerima)
c. Risywah untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta penguasa menolak kemudaratan dan mengambil manfaat.
d. Risywah untuk menolak ancaman atas diri atau harta, boleh bagi yang memberikan dan haram bagi orang yang mengambil. Hal ini boleh dilakukan karena menolak kemudaratan dari orang muslim adalah wajib, namun tidak boleh mengambil harta untuk melakukan yang wajib.
4. Faktor-faktor pendorong risywah adalah:
a. Dho’ful iman/lemahnya iman
b.‘Adamu al muroqobatillah/Tidak Merasa di awasi oleh Allah.
c. Tamak dan Serakah
d. Malas berusaha.
e. Hilangnya sifat jujur dan amanat pada diri seseorang.
f. Tipisnya kepedulian sosial terhadap sesama Muslim.
g. Lemahnya penegakan hukum di Masyakat.
5. Risywah hukum asalnya adalah haram.namun dalam kondisi tertentu di bolehkan dengan syarat sebagai berikut:
a. Dhorurat dengan syarat-syarat yang telah disebutkan dalam pembahasan.
b. Untuk mengambil kewajiban dan hak yang hilang saat didzalimi.
c. Tidak berlebihan dan menjadi kebiasaan.
d. Untuk Mendapatkan maslahah rojihah/ riil bukan dzoniyyah/perkiraan.
e. Tidak menghalalkan hal tersebut, namun mengingkarinya dan senatiasa beristighfar dan berdoa kepada Allah karena pada dasarnya cara itu haram.
6. Dampak negative risywah sangatlah dahsyat bukan sekedar pada tingkat individu namun pada masyarakat bahkan negara.
7. Ada dua solusi utama yang bisa dilakukan untuk mengatasi risywah. Yang pertama berkaitan dengan penjagaan(al wiqoyah) seperti memulai dari diri sendiri, memberikan penyuluhan/dakwah tentang bahaya risywah dll. Dan yang kedua berkaitan dengan pengobatan(al i’laj) seperti penegakkan hukum, pembekuan aset, PHK dll.
8. Secara mendasar perbedaan antara hadiah dan risywah ada dua sisi. Dari sisi hukum Islam yang mengharamkan risywah dan menghalalkan hadiah. Dan dari sisi tujuan dari risywah dan hadiah. Hadiah pemberian dengan tujuan ikhlas karena Allah sedangkan risywah pemberian dengan maksud tertentu yang tidak dibenarkan dalam Islam. WAllahu a’lam bishowab.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Muhsin, Abdullah Ibn, Suap dalam Pandangan Islam/Jarimah al-Risywah fiy Syari’ah al-Islâmiyah, Gema Insani Press, 2001.
Amin,Muhammad, Hasyiyah Ibn Abidin, Beirut: Darul Fikri, 1386 H(1965 M).
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1998.
Depag RI, Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Himpunan Fatwa MUI, Jakarta, 2003.
Al Bhukhari, al Jami ’ash Shahih, Dar al Sya’b, Mesir, cetakan I 1987.
Al Farmawiy, Abdul Hay, Al-Bidayah fi Tafsir Al-Mawdhu'iy, Al-Hadharah Al-'Arabiyah, Kairo, cetakan II, 1977.
Ibnu Abdulloh al hakim, Muhammad, Mustadrok ‘Ala Sohihain, Dar al Kutub al Ilmiah, Beirut, 1990.
Ibnu Abdurrohman al Junaidil, Hamd, Atsaru risywah fi ta’tsuri namwi al Iqtishodi wa Asalib Daf ’iha fi Dzilli Syariah Islamiah, al Markas al Arobi li Dirosah al Amniyyah wa Tadrib,Riyadh, 1982.
Ibnu Ali ibn Muhammad asy Syaukani, Muhammad, Nailul Author Min Ahadits Sayyid al Akhbar Syarh Muntaqo al Akhbar, Idaroh ath Tiba’ah al Muniroh.
Ibnu Hajar, Al ‘Asqolani, Fathul Bari, dar al Fikr, Beirut.
Ibnu Isa at Tirmidzi, Muhammad, Sunan at Tirmidzi, Dar al Gorb al Islami, Beirut, 1998.
Ibnu Jarir ath Thobari, Jamiul bayan ‘an ta’wil ‘Ayi al Qur’an, Dar al ‘Alam, Yordania, 2002.
Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arob , Dar al Shodir, Beirut.
Ibnu Muhammad bin Hambal, Ahmad, Musnad Imam Ahmad Hambal, Muasasah al Risalah, 2001.
Ibnu Qudamah, Al Mughni, Darul Fikr, Beirut, 1984.
Jama’ah Minal Ulama Biisyrof Syaik Sofiyyurohman al Mubarokfuri, al Mishbah al Munir fi Tahdzib Tafsir Ibnu Katsir, Darus Salam li nasyri watauzi’, Riyadh,2000.
Al Maroghi, Tafsir al Maroghi, Mustafa al babi al halabi, Mesir.
Muhammad bin Abi ‘Abbasar Romli, Syamsudin, Nihayatul Muhtaj, Dar al Fikr, Beirut,1984.
Musthofa, Ibrohim, Ahmad al Zabat dkk , al Mu’jam al Wasith , (Majma’ Lughoh ‘Arobiyyah), Dar al Dakwah, Juz 1 h. 148.
Al Qurtubi, Al jami’ li Ahkamil Qur’an, dar al kutub al Mishriyyah, Mesir, 1964.
Al Syaukani, Fathul al Qodir,darul al Wafa’, Mesir
Tahir Mansoori, Muhammad, Kaidah-kaidah Fiqih keuangan dan Transaksi Bisnis, Ulil Albaab Institute Pasca Sarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Bogor,2010.
DAFTAR SITUS RUJUKAN:
1. (http://www.lampung-news.com)
2. (http://www.radarlampung.co.id)
3. (http:// www.hidayatullah.com)
4. (http://koran.republika.co.id)
Langganan:
Postingan (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar