AKU AKAN BERJALAN WALAU SERIBU ARAL 'KAN MERINTANG

Senin, 19 Maret 2012

AL JU’ALAH DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM

Disususun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Fiqh Muamalah Dosen Pembimbing Dr. Ibdalsyah, MA Disusun Oleh ABU AZZAM AL KLATENI NPM: 11326121096 PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2011/2012 PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS IBNU KHALDUN BOGOR BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan sehari-hari terkadang seseorang mendapatkan musibah berupa kehilangan anak atau barang-barang berharga yang tinggi nilainya. Terlepas dari sebab hilangnya tersebut apakah dicuri atau hilang karena kelalaian pemiliknya, yang jelas berbagai upaya dilakukan untuk mengembalikan benda atau barang yang dimilikinya. Biasanya pemilik barang tersebut membuat pengumuman untuk khalayak ramai dengan memberikan imbalan/komisi tertentu bagi siapa saja yang bisa mengembalikan barangnya. Amalan yang demikian merupakan bentuk mu’amalah yang disebut dalam Islam sebagai al Ju’alah. Dalam konsep teori al Ju’alah memang terlihat sederhana dibanding jenis muamalah lainnya seperti sewa-menyewa, mudharabah, murobahah dan lainnya. Namun demikian konsep ju’alah berkembang pesat pada dunia pendidikan dan bisnis dewasa ini. Dalam dunia dunia pendidikan di berbagai instansi seringkali memberikan hadiah bagi para pelajar/mahasiswa yang kreatif melakukan penelitan dan riset yang bermanfaat bagi perkembangan zaman. Demikian juga tak kalah menarik dalam dunia bisnis , banyak sekali perusahaan berani membayar lebih bagi karyawan yang mampu mencapai target tertentu dalam memproduksi barang dan jasa. Tidak sebatas itu dalam dunia modern konsep ju’alah ini berkembang menjadi dasar amalan seperti sayembara berhadiah. Namun harus dicermati bahwa tidak semua sayembara berhadiah sesuai dengan konsep ju’alah yang dibolehkan. Karena dalam ju’alah pemberian komisi berasal dari satu pihak sehingga tidak sama dengan taruhan yang seringkali dijadikan sarana gambling yang dilarang dalam syariat Islam. Dari paparan singkat diatas maka perlu dan penting bagi kita mengakaji konsep Ju’alah dalam tinjauan Islam . Selain dalam rangka tafaqquh fiddin (mendalami agama) kitapun bisa mengimprovisasikannya dalam muamalah modern baik dalam dunia pendidikan maupun bisnis yang senantiasa dituntut untuk inovatif dan kreatif sesuai dengan perkembangan zaman. B. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah yang dimaksud dengan al Ju’alah? Dan bagaimana dasar hukum serta syarat-syaratnya? 2. Bagaimana perbedaan antara Ju’alah dengan ijaroh (sewa-menyewa)? 3. Apakah hikmah dan manfaat al Ju’alah dalam kehidupan sehari-hari terutama dizaman yang cukup modern ini? BAB II PEMBAHASAN A. DEFINISI Untuk lebih mudah memahami konsep dari al Ju’alah maka akan sangat membantu jika kita mengetahui terlebih dahulu definisi al Ju’alah baik secara bahasa(etimologis) maupun istilah(terminologis). a.1 Definisi al Ju’alah Secara Bahasa (etimologis). Di dalam al Mu’jam al Wasith al Ju’alah secara bahasa berarti: ما يجعل على العمل من أجر أو رشوة “ Apa saja yang di jadikan upah atau risywah(sogokan) atas suatu pekerjaan .” Adapun di dalam Kamus al Bisri kalimat al Ju’alah berarti (الجائزة/hadiah/persen) dan juga berarti (العمولة/ komisi). Sedangkan Dr. Wahbah al Zuhaili mendefinisikan al Ju’alah secara bahasa sebagai berikut. هي ما يجعل للإنسان على فعل شيء أو ما يُعْطاه الإنسان على أمر يفعله. وتسمى عند القانونيين: الوعد بالجائزة “al Jualah adalah apa saja yang dijadikan(imbalan) bagi seseorang atas suatu pekerjaan atau apa saja yang diberikan seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Dalam istilah perundang-undangan dinamakan dengan janji uuntuk memberikan hadiah.” a.2 . Definisi al Ju’alah Menurut Istilah (terminologis). Para ulama berbeda pendapat tentang definisi al Ju’alah secara istilah. Imam Syamsyuddin Muhammad ibnu al Khotib asy Syarbini yang juga diikuti oleh Dr. Wahbah al Zuhaili dalam kitabnya mendefinisikan al Ju’alah dengan ungkapan sebagai berikut: التزام عوض معلوم على عمل معين أو مجهول عسر علمه. “Suatu kelaziman(tanggung jawab) memberikan imbalan yang disepakati atas suatu pekerjaan tertentu atau pekerjaan yang belum pasti bisa dilaksanakan.” Sayyid Sabiq mendefinisikan al Ju’alah yaitu: الجعالة عقد على منفعة يظن حصولها كمن يلتزم بجعل. “ al Ju’alah adalah akad atas suatu manfaat yang diperkirakan akan mendapatkan imbalan sebagaimana yang dijanjikan atas suatu pekerjaan. Menurut Drs.Imron Ju’alah adalah tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya(penggunaannya) tentang suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan. Menurut Sulaiman Rasjid Jialah(Ju’alah) ialah meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan, misal seseorang yang kehilangan seekor kuda dia berkata ” siapa yang mendapatkan kudaku dan mengembalikan kepadaku, maka aku bayar sekian..”. Dari berbagai definisi diatas pada esensinya adalah sama. Perbedaan definisi dalam hal tersebut hanyalah perbedaan yang bersifat lafdzi(perbedaan dalam hal lafadz saja) sedangkan konten dan esensinya adalah sama. Namun perlu di pahami bahwa dalam Ju’alah bukan hanya sekedar untuk meminta pengembalian barang yang hilang sebagaimana dalam definisi Sulaiman Rasjid. Begitu juga imbalan yang digunakan tidak harus identik dengan dengan bayaran uang. Definisi yang dipaparkan oleh Sulaiman Rosyid diatas cenderung mengarah pada salah satu contoh dalam hal ju’ala seperti mengembalikan barang yang hilang. Kalau kita pahami konsep Ju’alah dalam al Qur’an dan al Hadist tidak sebatas pada pengembalian barang yang hilang bahkan untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang belum pasti bisa dikerjakan seperti dalam kasus para sahabat yang meruqyah pemimpin kaum dan diberikan imbalan sekumpulan kambing. Insya Alloh akan dipaparkan di dalam pembahasan. Secara ringkas al Ju’alah bisa kita definisikan berdasarkan dari beberapa definisi diatas adalah Suatu akad perjanjian untuk memberi imbalan atas suatu pekerjaan tertentu atau pekerjaan yang masih belum pasti bisa dikerjakan. Apabila pekerjaan tersebut telah tunai dan memenuhi syarat maka janji untuk pemberian imbalan tersebut bersifat lazim. Kalau kita gali lebih jauh kelaziman pemberian imbalan tersebut sesuai dengan kaidah usul fiqh. المواعيد باكتساب صور التعاليق تكون لازمة. “Janji-janji yag dikaitkan dengan syarat, sifatnya mengikat (tidak dapat ditarik kembali).” Dalam hal ini para ulama sepakat atas keharusan melaksanakan sebuah janji yang dibuat dalam bentuk jaminan seperti dalam masalah al Ju’alah . Dari definisi ini maka sayembara atau perlombaan berhadiah yang hadiahnya dari satu pihak merupakan bagian dari al Ju’alah. Karena syarat-syaratnya hampir mirip dan serupa dengan Ju’alah. B. DASAR HUKUM AL Ju’alah DALAM SYARIAT ISLAM b.1 Dasar Hukum al Ju’alah Menurut al Qur’an. Di dalam al Qur’an Alloh SWT menerangkan kasus al Ju’alah pada kisah Nabi Yusuf alaihissalam beserta saudara-saudaranya. Yaitu dalam surat Yusuf ayat 72 ketika mengisahkan peristiwa hilangnya alat takar raja ketika terjadi musim paceklik. Alloh SWT berfirman: (#qä9$s% ߉É)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy— ÇÐËÈ “Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan gelas piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". (QS. Yusuf: 72) Ibnu jarir dalam tafsirnya menjelaskan tentang makna (صواع) sebagai berikut و"الصواع" ، هو الإناء الذي كان يوسف يكيل به الطعام. وكذلك قال أهل التأويل . “ ash Shuwa’adalah bejana yang di gunakan Nabi Yusuf alaihissalam menakar makanan. Demikianlah yang dikatakan para ahli tafsir.” Kemudian Ibnu Jarir juga menyebutkan 10 riwayat dimana semuanya serupa menjelaskan hal tersebut satu diantaranya adalah dari Sa’id bin Jubair radhiyallohu ‘anhu dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma عن سعيد بن جبير عن ابن عباس في هذا الحرف:(صواع الملك) قال: كهيئة المكُّوك . قال: وكان للعباس مثله في الجاهلية يَشْرَبُ فيه. “Dari Sa’id bin Jubair dari Inu Abbas tentang maksud (صواع الملك) dalam ayat tersebut berkata: bahwa bejana tersebut bentuknya seperti cangkir tempat minum dan masa jahiliyyah al Abbas mempunyai barang tersebut yang digunakan untuk minum.” Ibnu Katsir dalam tafsirnya juga menjelaskan makna kalimat tersebut. كان من فضة يشربون فيه، وكان مثل المكوك، “ Alat takar tersebut terbuat dari perak yang digunakanmereka untuk minum. Dan bentuknya seperti… Ayat tersebut menjelaskan bahwa raja pada waktu itu melakukan Ju’alah dalam bentuk sayembara berhadiah bagi yang bisa menemukan alat takar tersebut dan baginya komisi berupa (حمل بعير/bahan makanan seberat beban unta). Jadi tetap sah jika dalam ju’alah imbalan bagi yang menemukan barang bukanlah uang. Adapun makna ayat Alloh SWT. وقوله:(ولمن جاء له حمل بعير) ، يقول: ولمن جاء بالصواع حمل بعير من الطعام “Berkata Ibnu jarir bahwa makna ayat (ولمن جاء له حمل بعير/dan barang siapa yang bisa menemukan maka baginya imbalan makanan seberat beban unta) maksudnya adalah bagi siapa saja yang bisa menemukan takaran tersebut maka baginya imbalan makanan seberat beban unta.” Ibnu Katsir berkata dalam mengomentari ayat ini: { وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ } وهذا من باب الجُعَالة، { وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ } وهذا من باب الضمان والكفالة. “Ayat Alloh (وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ) menunjukkan tentang bab al Ju’alah. Dan ayat Alloh (وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ) ayat ini menunjukkan bab tentang adh Dhomanah dan al kafalah dalam Islam. Dari berbagai penjelasan tersebut menunjukkan bahwa al Ju’alah merupakan muamalah yang dibolehkan. Penjelasan Ibnu Katsir dalam ayat tersebut jelas sekali bahwa ayat itu merupakan dalil di bolehkannya al Ju’alah. Walaupun secara mantuq (eksplisit) ayat tersebut berkaitan dengan syariat sebelum Islam. Namun secara mafhum(implisit) sebagai dasar istimbath/pengambilan hukum dalam masalah al Ju’alah. Dan telah masyhur bahkan menjadi kaidah dikalangan ulama tafsir bahwa ibroh diambil dari keumuman lafadz bukan dari kekhususan sebab. b.2. Dasar Hukum al Ju’alah Menurut al Hadits. Adapun dalil Ju’alah dalam hadits adalah riwayat Imam Bukhari dari Abu Sa’id al Khudri tentang kisah sekelompok sahabat yang sedang dalam perjalanan kemudian meruqyah pemimpin sebuah kampung yang di gigit ular dengan surat al Fatihah. عن أبي سعيد رضي الله عنه قال انطلق نفر من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم في سفرة سافروها حتى نزلوا على حي من أحياء العرب فاستضافوهم فأبوا أن يضيفوهم فلدغ سيد ذلك الحي فسعوا له بكل شيء لا ينفعه شيء فقال بعضهم لو أتيتم هؤلاء الرهط الذين نزلوا لعله أن يكون عند بعضهم شيء فأتوهم فقالوا يا أيها الرهط إن سيدنا لدغ وسعينا له بكل شيء لا ينفعه فهل عند أحد منكم من شيء فقال بعضهم نعم والله إني لأرقي ولكن والله لقد استضفناكم فلم تضيفونا فما أنا براق لكم حتى تجعلوا لنا جعلا فصالحوهم على قطيع من الغنم فانطلق يتفل عليه ويقرأ الحمد لله رب العالمين فكأنما نشط من عقال فانطلق يمشي وما به قلبة قال فأوفوهم جعلهم الذي صالحوهم عليه فقال بعضهم اقسموا فقال الذي رقى لا تفعلوا حتى نأتي النبي صلى الله عليه وسلم فنذكر له الذي كان فننظر ما يأمرنا فقدموا على رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكروا له فقال وما يدريك أنها رقية ثم قال قد أصبتم اقسموا واضربوا لي معكم سهما فضحك رسول الله صلى الله عليه وسلم . “ Dari abu Said al Khudri rodhiyallohu anhu berkata: Sekelompok sahabat Nabi SAW telah bersafar sehingga mereka sampailah ke sebuah perkampungan dari perkampungan suku Arab dan meminta izin untuk singgah di dalamnya namun, penghuni kampung tersebut enggan menerima mereka. Maka pada saat itu pemimpin kampung tersebut di patok ular dan mereka telah berusaha dengan sekuat tenaga mengobatinya akan tetapi belum ada hasilnya. Sebagian dari penghuni kampung tersebut berkata kepada yang lain.” Seandainya sebagian dari kamu datang kepada kafilah tersebut dengan harapan salah seorang diantara mereka mempunyai sesuatu yang bisa dijadikan buat obat.” Maka sebagian dari mereka benar-benar mendatangi kafilah sahabat tersebut. Kemudaian berkata kepada mereka; “Wahai kaum sekalian, sesungguhnya pemimpin desa kami telah digigit ulat dan kami telah berusaha sekuat tenaga untuk mengobatinya namun belum ada hasilnya, Apakah salah seorang diantara kalian mempunyai obatnya?” Maka sebagian diantara sahabat tersebut menjawab: “Ya, demi Alloh sungguh aku akan meruqyahnya. Namun bukankah kami telah meminta izin singgah dan kalian semua merasa keberatan? (Tidaklah jadi soal) bagaimana kalau seandainya kalian beri imbalan atas jerih payah kami jika ternyata kami bisa mengobati atas izin Alloh ? Maka orang kampung tersebut menyetujuinya dan menjadikan imbalannya adalah sekumpulan kambing( dalam riwayat Bukhori dari jalur yang lain 30 kambing ). Maka bergegaslah sahabat yang mewakili tersebut menuju rumahnya untuk meruqyahnya. Setelah sampai maka meludahlah sahabat tersebut dan dibacakan padanya “al hamdulillahi robbil ‘alamin(surat al Fatihah). Seketika itu kondisi pemimpin kampung tersebut berangsur sembuh dan bisa berjalan seperti sedia kala. Setelah kejadian tersebut maka di penuhilah janji pemberian imbalan atas amal yang dilakukan sahabat tersebut dan kemudian dia kembali lagi bersama kafilah. Setelah sampai kepada rekannya berkatalah sebagian diantara mereka; “ Bagilah imbalan tersebut dengan kami!” Maka diapun menjawab;”Jangan kau lakukan hal itu sebelum kita datang kepada Rosululloh SAW dan menceritakan apa yang terjadi kemudian baru kita lakukan apa yang diperintahkan rosululloh SAW kepada kita. Maka menghadaplah merka pada Rosululloh SAW dan menceritakan apa yang terjadi kepada Nabi SAW. Setelah Nabi mendengar hal tersebut kemudaian Beliau bertanya, “ Bagaimana kalian tahu bahwa surat al Fatihah adalah ayat ruqyah? Sungguh tepat sekali apa yang kalian lakukan.” Kemudian Nabi SAW melanjutkan perkataannya. ‘ Sekarang bagilah hasil yang kalian dapatkan dan sertakan aku dalam pembagian tersebut . maka tertawalah Rosululloh SAW akan hal tersebut.” (HR.al Bukhori: 2276) Hadist inilah yang menjadi dalil yang sangat shorih (jelas) akan bolehnya Ju’alah dalam Islam dan berserikat/bagi hasil terhadap imbalan yang diberikan. Apa yang di lakukan sahabat tersebut adalah satu amalan yang sama sekali tidak di ingkari oleh Nabi SAW. Tidak adanya pengingkaran tersebut mengindikasikan bahwa amalan itu merupakan amalan yang sah dan tidak diharamkan dalam Islam. Kemudian dikuatkan dalam akhir hadits bahwa Nabi SAW berharap agar disertakan dalam pembagian. Faidah yang bisa kita petik adalah jika seseorang beramal dengan perjanjian akan diberi imbalan setelah tunainya amal tersebut maka dia wajib mendapatkan imbalan tersebut setelah tunainya amal. Jika yang melakukan amal adalah sekelompok orang maka imbalan tersebut dibagi sejumlah orang tersebut. Namun jika seorang melakukan amalan yang sama akan tetapi dia tidak mengetahui bahwa amal tersebut adalah amal Ju’alah yang ada imbalannya maka dia tidak berhak mendapatkan imbalan. Akan tetapi dia beramal secara sukarela (tabarru’) . Adapun berkaitan dengan imbalan untuknya maka diserahkan pada pemilik barang tersebut. C. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG JU’ALAH Dr. Wahbah al Zuhaili menjelaskan menurut madzab Hanafiyah, akad Ju’alah tidak diperbolehkan, karena mengandung unsur gharar di dalamnya. Yakni, ketidakjelasan atas pekerjaan dan jangka waktu yang ditentukan. Hal ini dianalogikan dengan akad ijarah yang mensyaratkan adanya kejelasan atas pekerjaan, upah dan jangka waktu. Namun demikian, ada sebagian ulama’ Hanafiyah yang meperbolehkannya, dengan dasar istihsan (karena ada nilai manfaat) dalam masalah memberikan imbalan bagi yang berkeinginan mencari seorang budak yang melarikan diri dari tuannya. Adapun dalam madzab Maliki, Hambali dan Syafi’I Ju’alah dibolehkan secara syar’i dengan dalil kisah Nabi Yusuf dan para saudaranya di dalam surat Yusuf ayat 72 begitu juga dalil hadits dari Abu Sa’id al Khudri di atas. Adapun pendapat yang lebih kuat menurut penulis adalah pendapat yang membolehkan akad tersebut. Dalil-dalil dari al Qur’an dan as Sunnah tersebut cukup jelas. Memang sekilas terdapat unsur ghoror sebagaimana yang disebutkan dalam pendapat Hanafiah. Misalnya dalam Ju’alah tersebut ternyata ada beberapa orang yang masing-masing bekerja untuk mendapatkan janji imbalan. Namun ternyata pada akhirnya yang mendapatkan imbalan adalah mereka yang berhasil bekerja sesuai yang diminta pemberi janji imbalan sedangkan yang lain tidak berhak mendapat apa-apa padahal mereka juga berletih-letih mencarinya( seperti pada kasus perlombaan berhadiah). Ghoror seperti ini bisa ditepis dengan mempertimbangkan dua hal: a. Amalan Ju’alah sifatnya tidak memaksa pihak manapun. Artinya segala resiko yang bakalan di hadapi oleh pelaku Ju’alah seperti rasa letih, kehilangan biaya akomodasi untuk keperluan tertentu serta hal lainnya telah menjadi hal yang ma’lum dikalangan pelakunya. b. Hal tersebut didasari saling ridha antara dua belah pihak walaupun tidak ada pernyataan lansung dari pihak yang melakukan pekerjaan. D. SYARAT-SYARAT AL JU’ALAH DALAM ISLAM Diantara salah satu keistimewaan dinul Islam menjelaskan hukumnya secara rinci dan ilmiah disetiap permasalahan kehidupan. Para ulama telah menjelaskan tentang syarat-syarat Ju’alah dalam .kitab-kitab mereka diantaranya: 1. Shighat atau akad yang menunjukkan pekerjaan yang akan di beri imbalan. Dalam shighat ini harus jelas dan mudah dipahami serta berisi janji memberikan imbalan atas amal yang ditentukan. Seperti perkataan ; “Barang siapa yang bisa menghafal al Qur’an dalam 1 tahun maka baginya uang Rp10.000.000 misalnya. Seandainya seorang beramal tanpa sepengetahuan yang memberikan shighat, atau seandainya orang yang mengucapkan tersebut telah menunjuk orang tertentu kemudian ada orang lain yang beramal semisalnya dan mendapatkan hasilnya maka dia tidak wajib mendapatkan imbalan. Karena pada dasarnya orang yang beramal tanpa mengetahui Ju’alah dia beramal sukarela. 2. Upah/ Imbalan. Imbalan ini harus jelas dan tidak samar. Maka tidak boleh seperti ; “Barang siapa menemukan motor saya, maka baginya hadiah. Hal demikian merupakan akad Ju’alah yang fasid atau rusak. Karena imbalan dalam akad tersebut tidak jelas. Begitu juga tidak boleh upah yang dijanjikan dalam Ju’alah dari sesuatu yang haram seperti khomr, daging babi, atau barang-barang curian. Hendaknya upah yang diberikan sebanding dengan beratnya amal pekerjaan. 3. Orang yang Menjanjikan Upah Orang yang menjanjikan upah tidak harus yang mempunyai hajat namun boleh bagi orang lain memberi yang upahnya. 4. Pekerjaan . Pekerjaan yang terkait dengan Ju’alah haruslah bukan pekerjaan yang haram seperti berjudi, zina, dukun, atau mendzolimi sesame muslim. Namun pekerjan yang sifatnya mubah di dalam Islam. Maka tidak boleh bahkan haram mengikuti Ju’alah seperti. “Barangsiapa yang menyantet seorang muslim maka baginya hadiah sebesar 10 juta misalnya.” Hal tersebut karena pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang haram, Dalam masalah syarat ini Dr wahbah al Zuhaili menyebutkan ada 3 Syarat. 1. Ahliyatu ta’aqud (berkompeten) Maksud dari berkompeten dalam masalah ini mencakup 3 sisi a. Baligh. b. A’qil/Berakal. c. Rosyid/Rasional. Maka dari itu tidak sah Ju’alah dari orang yang belum baligh (kecil) atau orang gila ataupun orang yang tidak bisa berfikir secara rasional. 2. Imbalan yang jelas. 3. Hendaknya manfaat yang didapatkan benar-benar riil serta dibolehkan secara syar’i. Maksud dibolehkan manfaatnya secara syar’i yaitu bukan dalam yang diharamkan seperti musik, zina dll. Kemudian beliau menyebutkan kaidah yang penting dalam Ju’alah. أن كل ما جاز أخذ العوض عليه في الإجارة،جاز أخذ العوض عليه في الجعالة، ومالا يجوز أخذ العوض عليه في الإجارة، لا يجوز أخذ الجعل عليه، لقوله تعالى: {ولا تعاونوا على الإثم والعدوان} [المائدة:2/5] “Setiap yang dibolehkan mengambil imbalan/upah dalam masalah sewa-menyewa dibolehkan pula mengambil imbalan/upah dalam masalah Ju’alah. Begitu juga setiap yang dilarang dalam mengambil upah dalam sewa-menyewa dilarang juga dalam masalah Ju’alah. Hal tersebut di dasarkan atas firman Alloh SWT dalam surat al maidah ayat 5, ” Dan janganlah kamu sekalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.” 4. Dalam madzab Maliki menambahkan dua syarat. a. Dalam Ju’alah hendaknya tidak dibatasi dengan waktu tertentu. b. Hendaknya jualah pada pekerjaanyang sifatnya ringan. Namun kalau kita lihat lebih jauh tambahan dua syarat ini tidak bersifat lazim. Artinya tetap saja boleh dan sah seandainya dalam Ju’alah dibatasi dalam waktu tertentu dan pada pekerjaan yang tidak ringan. Yang jelas intinya kembali pada akad sighot yang tidak ada unsur keterpaksaan antara kedua belah pihak. Dari paparan diatas maka syarat-syarat Ju’alah dapat kita simpulkan sebagai berikut: a. Adanya shighot. b. Upah/imbalan yang jelas. c. Orang yang menjanjikan upah. d. Pekerjaan. e. Ahliyatu ta’aqud (berkompeten). f. Hendaknya manfaat yang didapatkan benar-benar riil serta dibolehkan manfaatnya secara syar’i. E. PEMBATALAN AKAD JU’ALAH Para ulama sepakat bahwa dibolehkannya pembatalan akad Ju’alah. Namun yang menjadi perbedaan adalah waktu kapan dibolehkannya pembatalan akad tersebut. Madzab Maliki mengatakan dibolehkannya pembatalan Ju’alah sebelum masuk kedalam amal yang diinginkan. Dalam madzhab Syafi’i dan Hambali dibolehkan membatalkan Ju’alah kapan saja sebagaimana dengan akad-akad muamalah lainnya. Jika seandainya pembatalan sebelum amal atau sesudah amal maka keduanya sama-sama tidak berhak mendapatkan imbalan. Yang pertama karena memang belum memulai amal dan yang kedua karena tujuan yang dimaksud tidak tercapai. Namun jika yang membatalkan pihak yang berjanji memberikan imbalan setelah amal dimulai maka pendapat yang paling benar dalam madzab Syafi’i orang tersebut mendapat upah atas apa yang dia kerjakan karena memang Ju’alah adalah amal yang dijanjikan imbalan. F. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA JU’ALAH DENGAN IJAROH(SEWA-MENYEWA) DAN LUQOTHOH(PENEMUAN BARANG YANG HILANG) Dalam literatur fiqh pembahasan Ju’alah selalu beriring dengan pembahasan ijaroh dan laqotoh. Memang kalau kita cermati Ju’alah hampir mirip dengan ijaroh (sewa –menyewa) atau punya kesamaan dengan bab laqotoh (penemuan barang yang hilang). Oleh karena itu dalam pembahasan kitab-kitab fiqih terdahulu biasanya para ulama membahasnya setelah pembahasan ijaroh atau luqothoh. Mirip dengan ijaroh karena didalamnya terdapat akad yang seolah menyewa tenaga untuk beramal. Adapun mirip dengan luqothoh karena biasanya digunakan dalam pekerjaan mencari barang-barang yang hilang dan belum ditemukan atau mengerjakan sesuatu yang belum pasti bisa dikerjakan. Dr. Wahbah al Zuhaili menjelaskan empat perbedaan antara ju’alah dan sewa-menyewa. Adapun perbedaan tersebut yaitu: 1. Al Ju’alah tetap sah dilakukan dengan seseorang yang masih belum jelas, sedangkan sewa-menyewa tidak sah dilakukan dengan seseorang yang masih belum jelas. 2. Dibolehkan Ju’alah dalam pekerjaan yang masih belum pasti, sedangkan sewa-menyewa tidak sah dilakukan atas pekerjaan yang belum jelas. 3. Tidak disyariatkan dalam Ju’alah qobul dari pelaku karena dia merupakan upaya yang dilakukan atas keinginan pribadi. Sedangkan sewa-menyewa tidak sah kecuali harus ada qobul dari pihak penyewa karena dia adalah akan yang melibatkan antara dua belah pihak secara langsung. 4. Al Ju’alah adalah akad yang sifatnya boleh dan tidak mengikat. Sedangkan sewa menyewa sifatnya lazim antar dua belah pihak dan tidak di batalkan kecuali dengan ridha kedua belah pihak. 5. Dalam Ju’alah imbalan tidak bisa diraih kecuali setelah selesainya amal. Seandainya mensyaratkan upah terlebih dahulu maka akad Ju’alah rusak. Adapun dalam sewa menyewa dibolehkan mempersyaratkan upah terlebih dahulu. Adapun perbedaan antara Ju’alah dan Luqothoh pada 2 hal mendasar berikut ini: 1. Dalam Ju’alah dipersyaratkan adanya penjamin pemberi imbalan serta bentuk imbalan yang jelas atas suatu amal. Sedangkan dalam Luqothoh imbalan tidak dipersyaratkan. Hal tersebut kembali pada pemilik barang. Jika berkenan memberi imbalan dan jika tidak bukanlah suatu hal yang dilarang. 2. Dalam Ju’alah terdapat shighot dan dalam luqothoh tidak terdapat shighot. G. HIKMAH DAN MANFAAT JU’ALAH DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI. Kalau kita gali banyak hikmah dan manfaat Ju’alah dalam kehidupan sehari diantaranya: 1. Sebagai sarana pemicu sekaligus pemacu prestasi pada karyawan perusahaan penelitian dan penemuan. Individu atau perusahaan yang bergerak di bidang penelitian boleh jadi termotivasi untuk bekerja menemukan ciptaan atau penemuan tertentu dengan tujuan mendapatkan bayaran atau hadiah ketika berhasil menemukan sesuatu . Hal ini hendaknya perlu di perhatikan para pengelola perusahaan penelitian dan penemuan seperti perusahaan elektronik semacam handphone, komputer dan semisalnya. Sebab seringkali kelesuan karyawan disebabkan karena gaji yang tidak sebanding dengan beratnya pekerjaan. Dan perusaan seperti elektronik dituntut inovatif dan bersaing dengan ketat. Dengan adanya reward atau hadiah bagi karyawan yang bisa menemukan penemuan baru akan menghilangkan virus “mati gaya” pada karyawannya. 2. Mendorong semangat pelajar dan mahasiswa untuk mengembangkan karya tulis ilmiah dan riset. Begitu juga memacu kinerja karyawan dalam perusahaan untuk bekerja lebih serius dan giat. 3. Sebagai sarana tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa. Hal tersebut karena dengan Ju’alah banyak sekali membantu proyek penting dalam suatu lembaga yang bermanfaat bagi umat. Seperti ju’alah dalam penyusunan buku-buku ilmiah, atau berbagai penelitian yang bermanfaat bagi umat. 4. Adanya penghargaan terhadap hasil karya orang lain. Sudah sepantasnya bagi direktur perusahaan, kepala instansi atau siapa saja pemegang dan pengelola suatu lembaga untuk menghargai jeih payah orang lain. Merupakan bagian dari prinsip kebajikan (mashlahah) dalam etika produksi dimana kita harus melakukan sebanyak mungkin kebajikan dalam kehidupan kita . Salah satu dari kebajikan tersebut yaitu menghargai hasil karya orang lain. H. KESIMPULAN. 1. Secara etimologis al Ju’alah adalah ap asaja yang dijadikan(imbalan) bagi seseorang atas suatu pekerjaan atau apa saja yang diberikan seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Adapun secara terminologis al Ju’alah adalah Suatu akad perjanjian untuk memberi imbalan atas suatu pekerjaan tertentu atau pekerjaan yang masih belum pasti bisa dikerjakan. Apabila pekerjaan tersebut telah tunai dan memenuhi syarat maka janji untuk pemberian imbalan tersebut bersifat lazim. Dasar Ju’alah dalam al Qur’an adalah surat Yusuf ayat 72. Adapun dalil Ju’alah dalam hadits adalah hadits riwayat Bukhari dari Abu Sa’id al Khudri tentang kisah sekelompok sahabat yang sedang dalam perjalanan kemudian meruqyah pemimpin sebuah kampung yang di gigit ular dengan surat al Fatihah. Dari pendapat para ulama syarat-syarat Ju’alah dapat kita simpulkan sebagai berikut: g. Adanya shighot. h. Upah/imbalan yang jelas. i. Orang yang menjanjikan upah j. Pekerjaan k. Ahliyatu ta’aqud (berkompeten). l. Hendaknya manfaat yang didapatkan benar-benar riil serta dibolehkan manfaatnya secara syar’i. 2. Perbedaan mendasar antara ju’alah dan ijaroh adalah a. Jualah tetap sah dan di bolehkan dilakukan pada amal yang masih belum jelas, sedangkan sewa-menyewa tidak sah pada sesuatu yang masih belum jelas. b. Dibolehkan Ju’alah dalam pekerjaan yang masih belum pasti, sedangkan sewa-menyewa tidak sah dilakukan atas pekerjaan yang belum jelas. c. Tidak disyar’atkan dalam Jualah qobul dari pelaku karena dia merupakan upaya yang dilakukan atas keinginan pribadi. Sedangkan sewa-menyewa tidaksah kecuali harus ada qobul dari pihak penyewa karenadia adalah akan yang melibatkan antara dua belah pihak. d. Al Ju’alah adalah akad yang sifatnya boleh dan tidak mengikat. Sedangkan sewa menyewa sifatnya lazim antar dua belah pihak dan tidak di batalkan kecuali dengan ridha kedua belah pihak. e. Dalam Ju’alah imbalan tidak bisa diraih kecuali setelah selesainya amal. Seandainya mensyaratkan upah terlebih dahulu maka akad Ju’alah rusak. Adapun dalam sewa menyewa dibolehkan mempersyaratkan upah terlebih dahulu. 3. Hikmah dan manfaat Ju’alah dalam kehidupan sehari-hari adalah: a. Sebagai sarana pemicu sekaligus pemacu prestasi pada karyawan perusahaan penelitian dan penemuan. b. Mendorong semangat pelajar dan mahasiswa untuk mengembangkan karya tulis ilmiah dan riset. c. Sebagai sarana tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa. d. Sebagai penghargaan terhadap hasil karya orang lain. DAFTAR PUSTAKA Abu Amar, Drs. Imron. Terjemah Fathul Qarib, Menara Kudus, Kudus: 1983. al Jaziri, Abdulrahman, Fiqih Empat Madzhab (alih bahasa Drs.H.Muh.Zuhri dkk.), asy Syifa’, Semarang,1994. Al Zuhaili, Wahbah, al fiqh al Islami wa Adillatuhu, Dar al fikr, Beirut,2004. Bisri, Adib, Kamus al Bisri, Pustaka Progresif,1999. Ibnu Jarir,Muhammad,Jami’ul Bayan fi Ta’wil al Qur’an, Muasasah al Risalah, 2000. Ismail, Muhammad al Bukhori, al Jami’ al Shohih, Dar al Sya’b, Mesir, 1987. Jama’atun Minal Ulama,al Misbah al Munir fi tahdzib TafsirIbnu Katsir, Dar al Salam li Nasyri wa Tauzi’, mamlakah Arobiyyah al Su’udiyyah, 2000. Muhammad, Syamsuddin ibnu al Khotib asy Syarbini, Mughni al Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz al Minhaj, Dar al Fikr, Beirut. Musthafa, Ibrahim dkk, al Mu’jam al Wasith, Dar al Da’wah. Rasyid, Sulaiman H, 2004,Fiqih Islam, bandung : PT. Sinar Baru Algesindo, 2011. Sabiq, Sayyid, Fiqh al Sunnah, Muasasah al Risalah Nasyirun, Beirut, 2008. Sukarno, Fahrudin, Etika Produksi Dalam Perspektif Ekonomi Islam, Al Azhar Press, Bogor, 2010. Tahir, Muhammad mansoori, Kaidah-kaidah Fiqih keuangan dan Transaksi Bisnis, Ulil Albaab Institute Pasca Sarjana UIKA, Bogor.

Tidak ada komentar: